Ada
fenomena yang unik dalam sejarah Islam yang patut dijadikan rujukan, tolak ukur
keberhasilan dakwah di mana saja dan kapan saja, bagi yang terjun di medan
dakwah. Gejala itu tidak lain adalah dakwah ini mampu men-setting generasi,
yakni generasi Sahabat radhiyallahu ‘anhum, generasi terbaik dalam sepanjang
sejarah Islam dan kemanusiaan.
Setelah itu boleh dikata, tidak pernah terulang lagi munculnya generasi
sekualitas itu, sekalipun ada beberapa figur yang muncul (mujaddid), tetapi
belum pernah lahir dalam bentuk society (160.000 orang, peny.), selain dari
generasi Sahabat. Gejala ini menimbulkan pertanyaan di kalangan yang masih
bersedia memikirkan kelangsungan dakwah Islam. Apakah penyebab dan rahasia
keberhasilan mereka?
Kemurnian dan keutuhan sumber asasi (ashalatu al-mashdar)
Al-Qur’an yang dikaji oleh para sahabat Rasul shalla-llahu 'alaihi wa sallam
dan yang menjadi asas perjuangan mereka dalam kehidupan, adalah Al-Qur’an
di tangan kita sekarang. Dan itu yang akan dibaca oleh generasi sesudah kita
nanti sampai akhir zaman. Al-Qur’an yang tetap asli, utuh, dan murni. Demikin
pula hadits Rasulullah, yang bagi sahabat dahulu dijadikan sebagai pedoman
kerja, semuanya masih tersimpan rapi dan mudah dipahami. Kecuali pribadi
Rasulullah yang telah meninggalkan kita. Lalu apakah ini yang menjadi penyebab?
Jawabannya bukan.
Seandainya keberadaan Rasulullah yang menjadi rahasianya, niscaya Allah tidak
akan menjadikan dakwah Islam ini kaffatan linnas wa rahmatan lil ‘alamin. Dan
Islam bukan risalah terakhir diturunkan oleh Allah. Akan tetapi Islam tidak demikian.
Allah menjamin keutuhan dan kemurnian Al-Qur’an, sekalipun Rasulullah telah
wafat. Dakwah ini akan berlangsung secara kontinyu, sekalipun beliau tiada.
Bahkan, beliau telah sukses menyampaikan risalah ini dengan sempurna sampai
akhir zaman.
Kehilangan pribadi Rasulullah bukan menjadi faktor utama dalam dakwah ini.
Sayyid Quthb, dalam bukunya Ma’alim fii ath-Thariq mencoba mengamati profil
masyarakat sahabat. Dari hasil pengamatannya, beliau mengemukakan tiga faktor
yang menjadi karakteristik generasi Qur’ani yang pertama itu.
Pertama, Alal-Qur’an, sumber utama (al-Qur’an manba-un wahiid)
Generasi sahabat mempersepsikan
Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber dan landasan kehidupan. Adapun hadits
adalah tafsir operasional dari sumber utama itu. Ketika Aisyah radhiyallahu
‘anha ditanya tentang perilaku Rasulullah, dia menjawab, “Budi pekertinya
adalah Al-Qur’an”.
Sebenarnya ketika itu bukan tidak ada hambatan peradaban dalam menegakkan
semangat beragama. Peradaban Romawi kala itu sudah mencapai tingkat kemajuannya
di bidang budaya, ilmu, dan hukum, yang sampai sekarang masih dianut oleh
beberapa negara sebagai sistem hukum. Demikian pula kebudayaan Yunani yang
terkenal dengan logika dan filsafatnya. Kebudayaan Persia, India, dan China
tercatat sebagai kebudayaan yang besar waktu itu. Dua peradaban Romawi dan
Persia mendominasi Jazirah Arab dari utara dan selatan.
Tetapi, fokus generasi sahabat kepada Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber dan
acuan, mempunyai sasaran khusus. Rasulullah ingin mencetak generasi yang
spesifik, di mana hati, akal, wawasan, ideologi, dan orientasi (ittijah)
mereka terpelihara orisinilitasnya dari berbagai pengaruh luar yang tidak
sesuai dengan manhaj Al-Qur’an.
Generasi inilah yang dicatat sejarah sebagai generasi yang unik, sebab generasi
berikutnya telah mengalami pembauran sistem dan telah terkontaminasi berbagai
polutan dalam memahami sumber utama. Seperti filsafat dan logika Yunani yang
banyak mencemari pemikiran pemikir Islam, israiliyat Yahudi dan teologi
Nasrani, serta berbagai kebudayaan dan peradaban asing, yang turut mencampuri
penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga mengurangi kadar kejernihan pemikiran
generasi berikutnya dalam memahami Al-Qur’an.
Kedua, Metode metode penerimaan al-Qur’an (manhaj at-talaqqi)
Antara generasi sahabat dan generasi berikutnya cenderung mengalami perbedaan
dalam aspek pola penerimaan Al-Qur’an. Generasi awal ketika membaca Al-Qur’an
tidak bertujuan membongkar rahasia alam, sains, pengayaan materi-materi ilmiah.
Akan tetapi menerima Al-Qur’an seperti menerima perintah dari Allah untuk
diterapkan secara langsung dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Persis
seperti seorang prajurit menerima perintah dari komandannya untuk dilaksanakan
secara spontan. Sahabat mencukupkan sepuluh ayat untuk dihafal dan diamalkan
muatannya.
Metode penerimaan yang aplikatif – justru menyingkap ufuk ilmu dan keindahan,
pesan-pesan inti – yang tidak terungkap sekiranya mereka berinteraksi dengan
menggunakan metode ilmiah. Dengan metode pertama dapat mempraktiskan kerja,
meringankan beban, menterjemahkan teori-teori ilmiah yang mandeg ke dalam kerja
nyata yang dinamis.
Sesungguhnya Al-Qur’an tidak menerima metode apapun selain dari metode
penerimaan yang praktis dan aplikatif. Karena Al-Qur’an bukan buku seni, ilmu,
sejarah, sekalipun semuanya terkandung dalam Al-Qur’an.
Al-Qur’an diturunkan sebagai pedoman hidup (minhajul hayah). Karena itu Allah
menurunkannya secara bertahap.
وَقُرْآنًا
فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيْلاً (الإسراء : 106)
“Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu
membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi
bagian.” (QS al-Isra’ :106).
Allah menurunkan Al-Qur’an tidak sekaligus. Tetapi berdasarkan
kebutuhan-kebutuhan dan perkembangan yang kontinyu dalam ideologi dan konsepsi,
juga berdasarkan problem alamiah yang dihadapi umat Islam dalam kehidupannya.
Terakadng ayat turun menerangkan peristiwa tertentu dan kondisi khusus, serta
menggariskan peranan yang harus dimainkan mereka dalam menghadapi kejadian itu,
dan memperbaiki kesalahan mereka, dengan begitu terasa keterikatan jiwa dengan
Allah sebagai Pencipta. Dari metode penerimaan yang praktis ini para sahabat
muncul sebagai generasi yang terbaik.
ketiga,
Isolasi isolasi (mufashalah) dari persepsi lama
Apabila seorang telah mengikrarkan dirinya sebagai muslim berarti ia telah
menghapus segala masa lalunya ketika jahiliyah, dan sekarang akan memulai hidup
baru yang sama sekali terpisah mutlak dari hidupnya pertama pada masa
jahiliyah; merasakan hidup yang lalu itu penuh noda dan kotoran yang hanya bisa
terhapus dengan Islam.
Dengan sikap pasrah seperti ini, ia menerima petunjuk Islam yang baru. Maka
setiap kali tidak mampu menunaikan kewajiban yang dibebaankan Islam kepadanya,
ketika itu ia merasakan bersalah dan berdosa. Akhirnya, jalan membersihkan
dirinya ialah dengan kembali kepada petunjuk Al-Qur’an. Isolasi perasaan secara
mutlak ini antara masa lalu yang jahiliyah dan masa sekarang yang Islami, jelas
terlihat dalam hubungan sosial dengan masyarakat jahiliyah yang ada di
sekitarnya dengan melepaskan samasekali hubungannya dengan lingkungan jahiliyah
dan menyatu dengan lingkungan yang Islami, sekalipun hubungan dagang dan harian
masih terjadi. Yang jelas, perubahan total terjadi dalam lingkungan, kebiasaan,
adat, wawasan, ideologi, serta pergaulan yang baru telah bertolak dari tauhid.
Ketiga karakteristik inilah yang tidak dimiliki oleh generasi berikutnya,
sehingga tidak bertahannya nilai-nilai ke-Islam-an yang utuh dalam persepsi dan
mata hati mereka.
Untuk mengembalikan ma’nawiyah (spirit) ber-Qur’an ini, perlu kita
membuka ruang yang luas dalam kepribadian kita dengan bekal khusus. Yaitu
pemberdayaan ruhani kita secara lebih intensif (tarbiyah ruhiyah), agar
Qur’an bisa berinteraksi lebih kuat dan mendalam dalam diri kita. Karena
Al-Qur’an berasal dari Dzat yang Maha Suci, dikirimkan melalui makhluk yang
suci, dan diberikan kepada hamba yang dipilih-Nya (ishthafaahu),
Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam
Wallahu ‘alam bish-shwab.