Hikmah Cerita-Cerita Dalam Al Quran

Hikmah Cerita-Cerita Dalam Al Quran

Sekolah Penghafal Al Qur'an - Hikmah dari kisah-kisah yang diceritakan dalam al Quran sangat banyak sekali, di antaranya yang paling penting adalah:

Pertama, sebagaimana yang Allah sebutkan dalam firmanNya

فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir” (QS. Al A’raf: 176)

Kedua, untuk menguatkan hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah

وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ

“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (QS. Huud: 120)

peneguhan hati dengan kisah Al Quran ini selain untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga untuk selain beliau. Betapa banyak para ulama dan orang-orang beriman memetik manfaat dari kisah para nabi dan yang lainnya. Betapa banyak kisah-kisah Quran tersebut menjadi penerang yang memberikan petunjuk kepada manusia.

Ketiga, dalam kisah-kisah al Quran terdapat hikmah bagi orang-orang yang berfikir.

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal” (Yusuf: 111)

Keempat, mengambil hikmah dan pesan dari kondisi umat-umat sebelumnya. Jika mereka adalah orang-orang yang binasa, maka umat ini pun perlu diberitahu dan diminta waspada terhadap apa yang membuat umat-umat terdahulu binasa. Jika mereka termasuk orang-orang yang sukses, maka umat ini pun perlu mengambil pelajaran dengan meniti jejak kesuksesan mereka.

Kelima, mengenal bagaimana kemampuan Allah memberikan berbagai macam hukuman kepada orang-orang yang menyimpang, sesuai dengan hikmah yang telah ditetapkanNya.

Keenam, mengenal penegakkan hujjah kepada manusia dengan diutusnya para Rasul, dan diturunkannya kitab-kitab. Mengenal bagaimana para umat terdahulu menghadapi Rosul mereka, apa yang terjadi ketika mereka ingkar kepada para Rasul dan apa yang terjadi ketika mereka menerima seruan para Rasul. Sebagaimana yang Allah firmankan setelah menceritakan sejumlah RasulNya:

وَرُسُلًا قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلًا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

“Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. An Nisaa: 164-165).

Pernahkah Hati Bergetar Dan Menangis Ketika Membaca Al Quran?

Pernahkah Hati Bergetar Dan Menangis Ketika Membaca Al Quran?

Sekolah Penghafal Al Qur'an - Alhamdulillah selama bulan Ramadhan kaum muslimin semangat membaca dan men-tadabburi Al-Quran, terlebih di 10 malam terakhir. Begitu semangat membaca Al-Quran, ada yang bisa menyelesaikannya dan khatam sampai beberapa kali. Akan tetapi sudahkah pernah kita merasakan ada perubahan dalam iman dan hati kita? Apakah sudah ada penambahan? Ataukah Al-Quran hanya dibaca saja dan tidak ada pengaruhnya?

Sudah jelas bahwa Al-Quran tidak hanya sekedar dibaca saja akan tetapi di-tadabburi, dipelajari dan diamalkan. Allah Ta’ala berfirman,

كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ

“Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran” (QS. Shaad:29).

Memang benar, kita tidak mesti harus menangis terus ketika membaca Al-Quran. Akan tetapi jika seumur hidup atau selama Ramadhan tidak pernah mata ini tersentuh dengan Al-Quran maka kita harus banyak-banyak intropeksi diri. Karena salah satu ciri seorang mukmin adalah hatinya bergetar dan bertambah imannya ketika dibacakan Al-Quran dan matapun bisa menangis bahagia.
Bergetar hatinya dan mata bisa menangis

Allah menyebutkan salah satu ciri seorang yang berimana dalah hatinya peka terhadap Al-Quran. Peka dan bergetar ketika disebut nama Allah. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka karenanya dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfal: 2).

Dan mata terkadang menagis ketika dibacakan Al-Quran. Berikut kisah panutan kita Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlinang air mata ketika dibacakan Al-Quran. Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,

قال لي النبيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : ” اقْرَأْ علَّي القُرآنَ ” قلتُ : يا رسُولَ اللَّه ، أَقْرَأُ عَلَيْكَ ، وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ ؟ ، قالَ : ” إِني أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي ” فقرَأْتُ عليه سورَةَ النِّساء ، حتى جِئْتُ إلى هذِهِ الآية : { فَكَيْفَ إِذا جِئْنا مِنْ كُلِّ أُمَّة بِشَهيد وِجئْنا بِكَ عَلى هَؤلاءِ شَهِيداً } [ النساء / 40 ] قال ” حَسْبُكَ الآن ” فَالْتَفَتَّ إِليْهِ ، فَإِذَا عِيْناهُ تَذْرِفانِ) .

“Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Bacakanlah al-Qur’an kepadaku.” Maka kukatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah saya bacakan al-Qur’an kepada anda sementara al-Qur’an itu diturunkan kepada anda?”. Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya aku senang mendengarnya dibaca oleh selain diriku.” Maka akupun mulai membacakan kepadanya surat an-Nisaa’. Sampai akhirnya ketika aku telah sampai ayat ini (yang artinya), “Lalu bagaimanakah ketika Kami datangkan saksi bagi setiap umat dan Kami jadikan engkau sebagai saksi atas mereka.” (QS. an-Nisaa’ : 40). Maka beliau berkata, “Cukup, sampai di sini saja.” Lalu aku pun menoleh kepada beliau dan ternyata kedua mata beliau mengalirkan air mata” (HR. Bukhari [4763] dan Muslim [800]).
Mata menangis akan tetapi hati berbahagia

Bagaimana tidak bahagia? Sementara air mata mengalir deras, ia bergumam, “akhirnya, akhirnya, akhirnya, mata ini menangis karena Allah? Bagaimana tidak bahagia, ia langsung teringat keutamaan menangis karena Allah. Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يلج النار رجل بكى من خشية الله حتى يعود اللبن في الضرع

“Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena merasa takut kepada Allah sampai susu [yang telah diperah] bisa masuk kembali ke tempat keluarnya” (HR. Tirmidzi no. 1633).

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ في ظِلِّهِ يَوْمَ لا ظِلَّ إلا ظلُّهُ ….، ورَجُلٌ ذَكَرَ اللَّه خالِياً فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

“Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya; …. dan [7] seorang yang mengingat Allah di kala sendirian sehingga kedua matanya mengalirkan air mata (menangis)” (HR. Bukhari [629] dan Muslim [1031]).

Dan sabda beliau Shallallâhu ‘alaihi wa sallam,

عينان لا تمسهما النار ، عين بكت من خشية الله ، وعين باتت تحرس في سبيل الله

“Ada dua buah mata yang tidak akan tersentuh api neraka; mata yang menangis karena merasa takut kepada Allah, dan mata yang berjaga-jaga di malam hari karena menjaga pertahanan kaum muslimin dalam [jihad] di jalan Allah” (HR. Tirmidzi [1639], disahihkan Syaikh Al-Albani dalam Sahih Sunan At-Tirmidzi [1338]).

Demikian semoga bermanfaat.

Hukum Menangis Ketika Membaca Al-Qur’an

Hukum Menangis Ketika Membaca Al-Qur’an

Sekolah Penghafal Al Qur'an - Menangis merupakan sesuatu yang biasa terjadi pada setiap orang. Namun menangis dengan sebab mendengar atau membaca ayat Al-Qur’am tentu merupakan peristiwa yang tidak terjadi pada setiap orang. Hanya orang-orang yang beriman yang mampu meresapi makna ayat-ayat Al-Qur’an dan memahami kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bisa menetes air matanya saat membaca atau mendengar bacaan Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan pula kelembutan hatinya. Sesungguhnya lunaknya hati dan cucuran air mata di saat membaca Al-Qur’an adalah ciri-ciri kaum salaf radhiyallahu ‘anhum.

Keutamaan Menangis Di Saat Membaca Al-Qur’an

Menangis di saat berdzikir dan membaca Al-Qur’an adalah sifat dari orang-orang yang arif dan syiar hamba-hamba Allah yang shalih. Sebagaimana Allah berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami;
sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.” Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (Al-Isra': 107-109)

Imam Al-Qurthubi berkata tentang firman Allah Azza wa Jalla:

“Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.”

“Dalam hal ini Allah berlebihan dalam mensifati mereka sekaligus pujian buat mereka dan merupakan hal yang wajar bagi setiap muslim yang memiliki ilmu atau sedikit dari ilmu untuk menggapai kedudukan semacam ini, merasa khusyuk, tunduk dan merendah diri ketika mendengar bacaan Al-Qur’an. Lalu beliau berkata bahwa ayat ini sebagai dalil akan bolehnya menangis dalam shalat yang timbul dari perasaan takut kepada Allah atau terhadap perbuatan maksiatnya dalam agama ini. Dan yang demikian itu tidaklah membatalkan atau mengurangi kesempurnaan shalat.” [1]

Abdul-‘Ala At-Taimi [2] berkata: “Barangsiapa yang memiliki ilmu dan tidak bisa membuatnya menangis maka patut dikatakan ia telah mendapatkan ilmu yang tidak bermanfaat baginya.” Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan tentang sifat dari ahlul ilmu dalam Al-Qur’an:

“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami;
sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.” Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (Al-Isra': 107-109)

Sesungguhnya apa yang didapati oleh seseorang dari perasaan gemetar pada hatinya, air mata menetes dan tubuh yang merinding di saat mendengar ayat-ayat Allah atau dzikir yang masyru’ (disyariatkan) maka ini adalah seutama-utama keadaan yang telah disebutkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. [3] Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (Az-Zumar: 23)

Dan Allah berfirman:

“Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (Maryam: 58)

Imam Al-Qurthubi berkata: Di dalam ayat ini terdapat bukti yang kuat bahwa ayat-ayat Allah punya pengaruh terhadap hati. [4]

Arti dan Macam-macam Menangis

Ar-Raghib berkata: ‘bakaa yabkii’ bukan dengan mad (memanjangkan bacaannya) berarti air mata yang menetes karena perasaan sedih dan meratapi.

Ibnul Qoyyim berkata: Menangis itu ada beberapa macam:

- Menangis sebagai curahan kasih sayang dan belas kasig.

- Menangis yang timbul dari perasaan takut dan khasyyah.

- Menangis karena perasaan cinta dan rindu.

- Menangis sebagai luapan rasa bahagia dan senang.

- Menangis lantaran keluh kesah terhadap perkara yang menyakitkan hati lalu tidak mampu menanggung beban tersebut.

- Menangis yang timbul lantaran perasaan sedih.

Perbedaan antara tangisan yang timbul lantaran perasaan sedih dengan tangisan yang timbul dari perasaan takut adalah bahwa tangisan yang ditimbulkan oleh perasaan sedih disebabkan oleh kejadian yang sudah lewat, sedangkan tangisan yang ditimbulkan oleh perasaan takut disebabkan oleh kekhawatiran terhadap sesuatu yang akan datang. Sedangkan tangis yang timbul dari luapan rasa bahagia dan tangisan yang timbul dari perasaan sedih, bahwa air mata dari luapan rasa senang terasa dingin dan hati terasa bahagia sedangkan air mata yang timbul dari kesedihan terasa hangat sedang hatipun terasa sedih.

- Menangis lantaran lemah dan ketidakberdayaan.

- Menangis yang timbul dari sifat nifaq, mata menangis namun hatinya membatu, pelakunya menampakkan kekhusyukan padahal sebenarnya ia adalah manusia yang paling keras hatinya.

- Menangis yang disewakan dan diperdagangkan, seperti tangisan orang-orang yang disewa untuk meratapi.

- Menangis yang timbul secara kebetulan seperti seseorang melihat manusia menangis karena sebab sesuatu lalu ia turut menangis pula bersama mereka dalam keadaan ia tidak mengerti sebab apa mereka menangis. Akan tetapi ketika ia melihat mereka menangis lalu ia hanyut menangis.

Jenis Menangis Pura-pura

Tangisan yang dilakukan dengan memberat-beratkan diri maka yang demikian itu dinamakan berpura-pura menangis, hal ini ada dua macam:

1. Berpura-pura menangis yang memiliki nilai terpuji.

2. Berpura-pura menangis yang memiliki nilai tercela.

Adapun berpura-pura menangis yang terpuji adalah yang bisa
mendatangkan kelunakan hati dan perasaan takut kepada Allah serta tidak membawa kepada perbuatan riya’ ataupun sum’ah. Umar radhiyallahu ‘anhu mengatakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ia melihat beliau dan Abu Bakar menangis akan keadaan tawanan perang Badr: “Beritakan kepadaku, apa yang membuat engkau menangis wahai Rasulullah? Kalau memang aku mendapati hal itu membuatnya menangis maka aku akan menangis dan jika tidak maka aku akan berpura-pura menangis karena tangisan engkau berdua.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari perbuatan tersebut, demikian juga ada sebagian salaf mengatakan: “Menangislah kalian dari rasa takut kepada Allah, kalau kalian tidak bisa menangis maka berpura-puralah kalian menangis!”

Adapun bagian kedua yaitu berpura-pura menangis yang tercela: adalah yang diperbuat untuk mendapatkan pujian dari makhluk, maka sering kali kita mendengar dan melihat orang yang berpura-pura menangis untuk tujuan materi belaka atau semata-mata ingin dilihat atau didengar. [5]

Petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Menangis

Tangis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serupa dengan tertawanya, tidak tersedu-sedu dan tidak berteriak-teriak seperti halnya tertawanya beliau tidaklah terbahak-bahak namun kedua matanya berlinang hingga meneteskan air mata, terdengar pada dada beliau desis nafasnya.

Terkadang tangisan beliau sebagai bentuk ungkapan kasih sayang terhadap orang yang meninggal atau pula sebagai ungkapan rasa kekhawatiran dan belas kasih terhadap umatnya dan kadang karena rasa takut kepada Allah atau ketika mendengar Al-Qur’an. Yang seperti itu adalah tangisan yang timbul dari rasa rindu, cinta dan pengagungan bercampur rasa takut kepada Allah. [6]

Abdullah bin Mas’ud menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bacakan (Al-Qur’an) untukku.” Lalu aku katakan: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aku baca untuk engkau padahal Al-Qur’an turun kepadamu?” Beliau berkata: “Ya, sesungguhnya saya ingin mendengarkannya dari selainku.”

Lalu aku baca surat An-Nisa’ hingga sampai ayat:

“Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami
mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai) umatmu.”

Beliau lantas berkata: “Ya cukup.” Tiba-tiba air matata beliau menetes.

Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menangis ketika menyaksikan salah satu cucunya yang nafasnya sudah mulai terputus-putur dan ketika putra beliau Ibrahim meninggal, air mata beliau menetes karena belas kasih beliau kepadanya. Beliau juga menangis ketika meninggalnya Utsman bin Madh’un, beliau menangis ketika terjadi gerhana matahari lantas beliau shalat gerhana dan beliau menangis dalam shalatnya, kadang pula beliau menangis di saat menunaikan shalat malam.

Diriwayatkan dari Tsabit Al-Bunaniy dari Muthorrif dari bapaknya berkata: Saya menjumpai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang beliau dalam keadaan shalat, terdengar dalam perut beliau Al-Aziz (seperti suara air yang mendidih dalam mirjal yaitu bejana) maksudnya beliau sedang menangis. [7]

Al-Aziz adalah rintihan dalam perut dalam arti lain suara tangis. Al-Mirjal dengan dikasroh mim-nya adalah bejana yang difungsikan untuk mendidihkan air yang terbuat dari besi, kuningan atau batu. Disebutkan dalam Al-Fath Ar-Rabbaniy: Makna ucapan tersebut adalah bahwa isi perut Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendidih dari sebab beliau menangis dari rasa takut kepada Allah. [8]

Terdapat dalam suatu riwayat bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: Beberapa surat telah membuatku beruban seperti surat Hud, Al-Waqi’ah, Al-Mursalaat, Amma Yatasa’alun dan surat Idzasy-Syamsu Kuwwirat. [9] Adalah bacaannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bisa membelah hati seseorang sebagaimana tertera dalam Ash-Shahihain dari Jubair bin Muth’im, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca surat Ath-Thur dalam shalat maghrib, tidaklah aku mendengar suara yang paling bagus dari beliau. Dalam sebagian riwayat lain: Maka tatkala aku mendengar beliau membaca:

“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri?”

Lantas ia mengatakan: Hampir saja jantungku terbang.

Berkata Ibnu Katsir rahimahullah: Ketika Jubair mendengar ayat tersebut ia masih musyrik menganut ajaran kaumnya, ia datang di saat terjadinya penebusan tawanan perang setelah perang badar. Maka cukuplah bagi kamu dengan orang yang bacaannya punya pengaruh terhadap orang yang getol kepada kekafirannya dan itulah yang menjadi sebab ia mendapatkan hidayah, oleh karena itu, sebaik-baik bacaan adalah yang muncul dari kekhusyukan hati. Thawus berkata: Manusia yang paling bagus suaranya dalam membaca Al-Qur’an adalah yang mereka paling takut kepada Allah.

Jatuh Pingsan dan Berteriak Ketika Mendengar Ayat Al-Qur’an

Dalam hal ini sebagian ulama mengingkari masalah berteriak dan pingsan ketika mendengar ayat Al-Qur’an. Disebutkan oleh Al-Qurthubiy tentang tafsir firman Allah Azza wa Jalla yang berbunyi:

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang.” (Az-Zumar: 23)

Bahwasanya Ibnu Umar melewati salah seorang dari Ahlul Qur’an dalam keadaan tersungkur, lalu beliau berkata: “Ada apa gerangan dengan orang ini?” Orang-orang menjawab: “Tadi dibacakan kepadanya Al-Qur’an dan ia mendengar nama Allah disebut lalu ia tersungkur.” Lantas Ibnu Umar menyangkal: “Sesungguhnya kita juga memiliki rasa takut kepada Allah namun kita tidak jatuh tersungkur. Sesungguhnya syaithan merasuk dalam perut salah seorang di antara kalian, padahal tidaklah demikian perbuatan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam!” tandas beliau.

Berkata Imam An-Nawawiy: Ahmad bin Abi Hawariy, beliau adalah kebanggaan penduduk Syam sebagaimana pernyataan Abul-Qasim bin Junaid rahimahullah, bila dibacakan kepadanya Al-Qur’an beliau berteriak dan jatuh pingsan.

Sementara Ibnu Abi Dawud mengatakan: Perbuatan Abul-Hawari telah diingkari oleh Al-Qasim bin Utsman Al-Jauni, Abul-Jauza’, Qais bin Jubair dan yang lainnya. Aku katakan (Imam An-Nawawi): Yang benar adalah tidak sepantasnya perbuatan ini diingkari terkecuali bagi orang-orang yang diketahui ia berlagak dengan hal tersebut.

Ibnu Taimiyah mengatakan: “Sesungguhnya apa yang didapati di saat mendengar dan berdzikir dengan dzikir yang masyru’ dari perasaan gemetar, air mata yang menetes dan jasad yang merinding maka ini adalah seutama-utama keadaan yang telah disinggung oleh Al-Kitab dan As-Sunnah. Sedangkan kegoncangan yang sangat hingga membawa pingsan dan kematian serta teriakan yang histeris maka yang demikian ini tidaklah pelakunya tercela kalau seandainya memang di luar
kesadarannya. Sebagaimana hal ini terjadi pada tabi’in dan orang-orang yang setelahnya. Hal itu bersumber dari kuatnya dorongan yang masuk kepada hati seiring dengan keadaan lemah dan kuatnya hati tersebut. Namun sikap tegar itu lebih utama karena yang seperti inilah keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan sahabatnya.”

Beliau juga menambahkan: “Menurut pandangan jumhur ulama bahwasanya salah seorang dari mereka apabila dikuasai oleh perasaan demikian maka hal ini tidaklah diingkari walaupun sikap tegar itu jelas lebih sempurna. Oleh karenanya ketika Al-Imam Ahmad ditanya tentang hal yang demikian ini beliau menjawab: Telah dibaca Al-Qur’an di hadapan Yahya bin Said Al-Qaththan lalu beliau jatuh tidak sadarkan diri, dan kalaulah ada orang yang mampu menahan dirinya dari hal ini sudah barang tentu Yahya bin Said akan menahannya sementara aku tidak melihat orang yang lebih berakal dari dia.”

Berkata Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin: “Teriakan-teriakan yang kadang terdengar dari sebagian manusia dan nampaknya muncul bukan atas sekehendak mereka, dalam hal ini para ulama berkata: Sesungguhnya manusia itu apabila menangis karena perasaan takut kepada Allah maka shalatnya tidaklah batal walaupun terpisah dan bacaannya dua huruf atau lebih karena tidaklah mungkin manusia itu dalam hal ini melakukan dengan sesuka hati dan tidak mungkin pula kita katakan kepada manusia: ‘Jangan engkau menangis dan jangan khusyuk dalam shalatmu’.”

Allahu a’lam dan mudah-mudahan shalawat dari Allah tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Fatwa Seputar Menangis dan Pura-pura Menangis

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya: Tentang teriakan suara dari orang-orang yang menangis.

Beliau menjawab: Sering sekali saya menasehati orang-orang yang menelpon saya agar menjauhi perbuatan yang semacam ini dan hal ini tidak boleh dilakukan karena mengganggu orang lain, memberat-beratkan diri mereka serta mengganggu ketenangan orang-orang yang sedang shalat dan membaca Al-Qur’an. Yang sebaiknya dilakukan oleh orang mukmin adalah berupaya agar jangan sampai tangisnya itu terdengar dan hendaknya berhati-hati dari perbuatan riya’ karena syaithan kadang menyeretnya kepada perbuatan riya’.

Sebaiknya ia tidak menyakiti dan mengganggu yang lainnya dengan suaranya, namun, ada sebagian manusia yang mengalami hal yang demikian ini di luar kehendaknya, dikuasai oleh keadaan seperti ini tanpa ia sengaja maka yang seperti ini dimaafkan apabila terjadi tanpa dengan sekehendaknya.

Telah tetap dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya apabila beliau membaca Al-Qur’an maka terdengar di dalam dada beliau seperti suara air mendidih di dalam bejana dari sebab tangisnya. Demikian juga tentang kisah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau apabila membaca Al-Qur’an hampir tidak bisa didengar oleh manusia karena tangisnya, sama halnya dengan Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya terdengar dari belakang shaf isak tangisnya dan ini semua bukan berarti beliau menyengaja menarik suara keras dengan tangis tersebut akan tetapi keadaan tersebut telah menguasainya karena perasaan takutnya kepada Allah Azza wa Jalla. Bilamana dikuasai oleh keadaan oleh keadaan seperti tadi tanpa disengaja maka tidak mengapa baginya.

Beliau juga ditanya -semoga Allah membalas semua kebaikannya- tentang hukum bagi seorang imam yang mengulang-ulang bacaan ayat rahmat dan adzab?

Beliau menjawab: Saya melihat hal ini tidak mengapa dalam rangka mengajak manusia untuk merenungi, khusyu’ dan mengambil faidah darinya. Di dalam suatu riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau berulang kali mengulang firman-Nya yang berbunyi:

“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Maidah: 118)

Walhasil dalam masalah ini, apabila untuk tujuan yang positif (baik), bukan untuk riya’ maka tidaklah hal ini terlarang. Namun apabila ia melihat bahwasanya dengan mengulang berkali-kali membuat mereka gelisah serta menimbulkan suara yang menggelisahkan karena sebab tangisnya maka meninggalkan perkara ini jelas lebih utama sehingga tidak menimbulkan gangguan dan kalau seandainya dengan mengulang-ulang itu tidak menimbuljan kecuali rasa khusyu’, merenungkan dan semangat menjalani shalat maka semuanya adalah baik.

Beliau ditanya tentang pengulangan ayat-ayat yang mengandung sifat-sifat Allah?

Beliau menjawab: Saya belum pernah mengetahui adanya nukilan dalam masalah ini. Karena yang ternukil dari Nabi sesungguhnya tidak ada pemisahan antara ayat-ayat sifat dengan yang lainnya sejauh apa yang saya ketahui, karena terkadang timbulnya menangis dan perasaan khusyu’ pada ayat-ayat tersebut dan tidak diragukan bahwa ayat-ayat sifat termasuk dari hal-hal yang berpengaruh dan mengundang tangis. Karena dengan itu seseorang bisa mengingat kebesaran Allah serta kebaikan-Nya dan kemudian ia menangis, semisal firman-Nya:

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telag menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang
(masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-A’raf: 54)

Maka bilamana seseorang itu merenungkannya tentulah ia menangis dan khusyu’ disebabkan rasa takut kepada Allah dan yang semisalnya dari beberapa ayat. Seperti juga dalam firman-Nya:

“Dia-lah Allah yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dia-lah Allah yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”

Semua ayat tadi dari apa-apa yang menimbulkan tangis karena mengingat keagungan Allah dan kesempurnaan, kebaikannya kepada hambanya serta kesempurnaan, makna yang terkandung dalam sifat-sifat tersebut yang punya pengaruh lalu menimbulkan rasa tangis, maka merenungkan ayat-ayat yang berkenaan dengan nama dan sifat-sifat Allah sangatlah penting sekali seperti halnya merenungi ayat yang berbicara tentang surga, neraka, rahmat serta adzab.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila melewati ayat yang mengandung makna tasbih (pensucian Allah dari segala kekurangan) beliau bertasbih di dalam shalat malamnya, apabila melewati ayat yang mengandung janji beliau berdoa, demikianlah yang diriwayatkan oleh Hudzaifah dari perbuatannya alihisshalatu wassalam, sedangkan sunnah beliau adalah berdoa pada ayat yang mengandung janji dan harapan, meminta perlindungan pada ayat yang mengandung ketakutan serta bertasbih pada ayat yang disebut nama dan sifat Allah.

Beliau ditanya -semoga Allah menjaganya- tentang seseorang yang menangis dalam doanya sementara ketika mendengar Kalamullah ia tidak menangis?

Beliau menjawab: Hal yang demikian ini bukanlah atas sekehendak dia. Kadang jiwanya itu berdetak ketika memanjatkan doa dan tidak berdetak ketika mendengar sebagian ayat akan tetapi sebaiknya bagi dia untuk melatih jiwanya untuk lebih khusyu’ ketika baca Al-Qur’an ketimbang khusyu’ dalam doanya karena khusyu’ dalam membaca Al-Qur’an itu sangat penting, namun kalau memang mungkin untuk khusyu’ di dalam membaca Al-Qur’an dan berdoa maka hal itu adalah baik karena kekhusyukan dalam berdoa termasuk sebab-sebab terkabulnya sebuah doa. Akan tetapi hendaknya perhatiannya untuk khusyu’ dalam membaca Al-Qur’an lebih besar karena ia adalah Kalamullah. Di dalamnya terdapat cahaya penerang dan petunjuk, demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beserta para sahabat merenungkan dan menangis ketika membaca Al-Qur’an.

Oleh karenanya tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: “Bacalah Al-Qur’an untukku.” “Bagaimana mungkin aku akan membaca Al-Qur’an untukmu sedang Al-Qur’an itu turun kepadamu?!” jawab Abdullah. “Sesungguhnya aku suka mendengarnya dari selainku,” lanjut beliau.

Kemudian dibacalah mulai awal surat An-Nisa’ sampai firman-Nya:

“Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami
mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).”

Beliau berkata: “Cukup!” Lalu aku menoleh kepadanya maka tiba-tiba mata beliau meneteskan air mata, kata Ibnu Mas’ud. Dan nampaknya tangis beliau tidak sampai mengeluarkan suara namun bisa diketahui dengan air mata yang menetes. Juga hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Sikhkhir, bahwasanya ia mendengar pada dada beliau seperti suara air yang mendidih dalam bejana karena sebab menangis, kejadian ini berindikasi bahwa tangis beliau kadang mengeluarkan suara akan tetapi tidak sampai menggangu.

Beliau ditanya tentang hukum berpura-pura dalam menangis? Dan akan kebenaran riwayat dalam masalah tersebut?

Beliau menjawab: Datang suatu riwayat pada beberapa hadits:

“Jika engkau tidak bisa menangis maka berpura-puralah menangis!”

Akan tetapi saya tidak mengetahui keabsahan hadits, hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad namun saya tidak ingat keabsahan riwayat tambahan tersebut yaitu:

“Jika engkau tidak bisa menangis maka berpura-puralah menangis!”

Hanya saja riwayat ini masyhur di kalangan para ulama tapi masih perlu mendapat perhatian lagi dan saya sekarang tidak ingat kedudukan sanadnya. Nampaknya tidak perlu untuk memberat-beratkan diri, kalau mendapati tangis maka hendaklah ia berupaya untuk tidak mengganggu yang lainnya, menangis dengan suara lirih tidak mengganggu yang lainnya semampunya.

Bolehkah Wanita Belajar Tajwid kepada Laki-laki?

Bolehkah Wanita Belajar Tajwid kepada Laki-laki?

Pertanyaan : Sekolah Penghafal Al Qur'an - Apakah diperbolehkan bagi wanita untuk belajar tajwid dan hukum-hukum membaca al-Qur’an dengan pengucapan dan dengan mendengarkan kepada seorang syaikh yang kokoh keilmuannya, dengan tetap menjaga hijab dan tidak kholwat (berdua-duaan, pent)? Seandainya perkara tersebut tidak diperbolehkan, apa nasihat bagi para penuntut ilmu yang mengajarkan (tajwid) kepada para wanita? Padahal telah diketahui bahwa perkara tersebut tidak aman dari fitnah.

Jawaban :

Aku berpendapat bahwa pada asalnya hal tersebut tidak boleh, dengan illat (alasan) yang telah disebutkan pada pertanyaan itu sendiri (yakni bahwa hal tersebut tidak aman dari fitnah, pent) ….

Jika seandainya harus (belajar tajwid pada laki-laki, pent), maka haruslah dengan syaikh yang sudah tua, terpercaya, dan amanah, dengan tanpa kholwat dan dengan ditemani mahromnya..

Dan yang utama –tidak diragukan lagi- adalah belajar tajwid tersebut di antara wanita saja..

Dan Alloh-lah tempat meminta pertolongan …

Al-Qur’an Al-Karim

Al-Qur’an Al-Karim

Sekolah Penghafal Al Qur'an - Al-Qur’an Al-karim adalah kalam Tuhan seluruh alam. Allah turunkan kepada Rasul-Nya Muhammad sallallahu’alaihi wa sallam untuk mengeluarkan manusian dari kegelapan menuju cahaya (keimanan).

(هو الذي ينزل على عبده آيات بينات ليخرجكم من الظلمات إلى النور ) الحديد/9 .

“Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang (Al-Quran) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya.” SQ. Al-Hadidi: 9.

Allah telah menjelaskan dalam AL-Qur’an Al-Karim kabar generasi awal dan terakhir, penciptaan langait dan bumi, di dalamnya memperinci halal dan haram, poko adab, akhlak dan hukum ibadah, muamalat. Begitu juga biagrafi para Nabi san orang-orang sholeh. Balasan orang mukmin dan orang kafir. Penjelasan sifat surga tempat tinggal orang mukmin dan sifat neraka tempat tinggal orang kafir. Dan menjelaskan segala sesuatu.

( ونزلنا عليك الكتاب تبياناً لكل شيء وهدى ورحمة وبشرى للمسلمين ) النحل/89 .

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” SQ. An-Nahl: 89.

Dalam AL-Qur’an ada penjelasan nama dan sifat-sifat Allah. Makhluk, dan ajakan untuk beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para rasul dan hari akhir. “Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat." (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali." SQ. Al-Baqarah: 285.

Dalam AL-Qur’an juga ada penjelasan kondisi hari kiamat dan (kondisi) setelah kematian, dari kebangkitan, dikumpulkan, dipanga mahsyar, hisab, sifat telaga, jembatan, timbangan, kenikmatan dan siksaan. Serta berkumpulnya orang-orang di hari yang sangat agung.

“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kamu di hari kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya. Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah ?”. SQ. AN-Nisaa’: 87.

Dalam Al-Qur’an Al-Karim juga ajakan untuk melihat dan berfikir terhadap ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat Qur’an. “Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi.” SQ. Yunus: 101. Dan firman-Nya, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?.” SQ. Muhammad: 24.

Al-Qur’an adalah Kitabullah untuk seluruh manusia,

( إنا أنزلنا عليك الكتاب للناس بالحق فمن اهتدى فلنفسه ومن ضل فإنما يضل عليها وما أنت عليهم بوكيل ) الزمر/41 .

“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk manusia dengan membawa kebenaran; siapa yang mendapat petunjuk maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat maka sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian) dirinya sendiri, dan kamu sekali-kali bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap mereka.” SQ. Az-Zumar: 41.

Al-Qur’an Al-Karim membenarkan diantara kitab-kitab yang ada dari kitab terdahulu seperti Taurat, Injil dan menguasai atas keduanya sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu.” SQ. Al-Maidah: 48.

Setelah ditrurunkannya Al-Qur’an, maka ia menjadi kitab seluruh manusia sampai hari kiamat. Barangsiapa yang tidak mempercayainya, maka dia kafir akan disiksa dengan siksaan di hari kiamat sebagaimana Firman-Nya Subhanahu, “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, mereka akan ditimpa siksa disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” SQ. Al-An’am: 49.

Dan keagungan Al-Qur’an dan kandungan di dalamnya dari ayat, mukjizat, perumpamaan dan pelajaran. Disamping kefasihan dan keindahan penjelasan sebagaimana Firman Allah:

( لو أنزلنا هذا القرآن على جبل لرأيته خاشعاً متصدعاً من خشية الله وتلك الأمثال نضربها للناس لعلهم يتفكرون ) الحشر/21 .

“Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” SQ. Al-Hasr: 21.

Allah telah menantang manusia dan jin untuk mendatangkan seperti (Al-Qur’an) atau satu surat atau semisal satu ayat. Mereka tidak bisa dan tidak mungkin bisa. Sebagaimana firman Allah, “Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain." SQ. Al-Isro’: 88.

Ketika Al-Qur’an adalah kitab teragung diantara kitab-kitab yang dari langit, yang paling sempurna, paling lengkap dan paling akhir. Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya Muhammad sallallahu’alaihi wa sallam untuk menyampaikan kepada seluruh manusia dengan firman-Nya, “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” SQ. Al-Maidah: 67.

Karena urgensi kitab ini, dan kebutuhan umat terhadapna. Maka Allah telah memberikan kemulyaan dengannya dan diturunkan kepada kami dan menanggung dengan menjaganya untuk kami. Beliau berfirman, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” SQ. Al-Hijr: 9.

Mukhoyyam Al Qur'an SPA Rijalul Qur'an

Mukhoyyam Al Qur'an SPA Rijalul Qur'an

Sekolah Penghafal Al Qur'an - Menghafal Al Qur'an dipadukan dengan berkemah memang mengasyikan. memadukan alam raya yang sedang berzikir dan anak2 dhuafa yang menghafal Al Qur'an adalah pemandangan yang luar biasa. Mukhoyyam Al Qur'an, 21-23 Nov 14 dilereng gunung ungaran yang pertama kali ini meluluskan 11 santri yang berhasil menghafal Al Qur'an setengah juz dalam durasi 2 hari 2 malam.

Pendaftaran Santri Sekolah Penghafal Al Qur'an Gelombang Pertama

Pendaftaran Santri Sekolah Penghafal Al Qur'an Gelombang Pertama
Pendaftaran Santri Sekolah Penghafal Al Qur'an Program Khusus Yatim dan Dhu'afa Gelombang Pertama telah di Buka. Bagi yang sekarang di TK B, SD Kelas 6 silahkan bisa mendaftar dulu. Pendaftaran berakhir hingga tanggal 15 Februari 2015. Tes selesi tanggal 22 Februari 2015. Untuk kelas mahasiswa dan sarjana tidak di syaratkan dhu'afa.

Keutamaan dan Adab Membaca Al Qur’an

Keutamaan dan Adab Membaca Al Qur’an

KEUTAMAAN AL QUR’AN DAN PEMBACANYA

1. Merupakan semulia-mulia ilmu dari seluruh ilmu yang lainnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

Dari Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu berkata, telah bersabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Sebaik-baik orang di antara kalian adalah orang yang belajar Al Qur’an dan mengamalkannya.” (HR. Al Bukhari)

2. Al Qur’an itu akan menjadi syafa’at terhadap orang yang membacanya nanti pada hari kiamat. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Bacalah kalian Al Qur’an karena dia (Al Qur’an) itu akan datang pada hari kiamat memberi syafa’at bagi pembacanya.” (HR. Ahmad)

3. Semakin banyak seseorang membaca Al Qur’an maka akan semakin tinggi pula derajatnya di surga nanti. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Dikatakan kepada orang yang membaca Al Qur’an pada hari kiamat “bacalah!”, naikan, dan tartilkanlah sebagaimana kamu membaca tartil di dunia karena kedudukanmu (di surga) sesuai dengan akhir ayat yang kalian baca.”

4. Bahwa satu huruf dari Al Qur’an itu sama dengan satu kebaikan, lalu satu kebaikan itu akan Allah berikan sepuluh pahala. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Kitabullah (Al Qur’an) maka baginya satu kebaikan, dan kebaikan itu akan dilipatkan sepuluh kali pahala. Tidaklah aku katakan bahwa ‘Alif lam mim’ itu satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, mim satu huruf.” (HR. At Tirmidzi)

5. Bahwa satu ayat Al Qur’an itu lebih utama dari pada satu unta yang besar, yang unta itu merupakan semewah kendaraan dan perhiasan di zaman itu. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

Dari ‘Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah keluar menengok kami, sedang kami di shuffah (di belakang masjid) seraya mengatakan:

“Apakah kalian ingin pergi ke Baththan (suatu tempat di Madinah) atau ‘Aqiq (padang pasir di Madinah) untuk mengambil dua unta yang sangat besar tanpa melakukan dosa dan memutus silaturahmi?” Mereka mengatakan, “Kami semua menyukainya wahai Rasulullah.” Maka beliau bersabda: “Apakah di antara kalian tidak pergi ke masjid untuk belajar dua ayat itu lebih bagus dari dua unta, tiga ayat lebih bagus dari pada tiga unta, empat ayat lebih bagus dari pada empat unta, dan dari seluruh jumlahannya.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Wahai saudaraku, padahal kalau kalian ketahui bahwa sekarang ini unta yang bagus kadang harganya menyamai mobil yang mewah, bahkan kadang melebihinya. Oleh karena itulah orang yang betul-betul kaya secara hakiki adalah yang hafal Al Qur’an atau yang membacanya setiap hari dengan memperbaiki bacaan dan melakukannya secara ikhlas karena Allah Azza wa Jalla.

6. Orang yang ahli dalam Al Qur’an itu menjadi keluarga Allah Azza wa Jalla, menjadi orang yang khusus di sisi Allah Azza wa Jalla. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Bahwasanya Allah itu mempunyai keluarga, siapakah itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: orang yang ahli dalam Al Qur’an mereka itulah keluarga Allah dan orang khususnya.” (HR. Ahmad)

7. Mereka pembaca Al Qur’an itu akan mendapatkan ketenangan, rahmat dan ampunan dari Allah serta akan dikelilingi oleh para malaikat, dan Allah akan selalu menyebutnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Tidaklah berkumpul suatu kaum dalam satu masjid dari masjid Allah Azza wa Jalla, mereka membaca Kitabullah (Al Qur’an), saling mengajar di antara mereka kecuali akan turun kepada mereka suatu ketenangan, akan diliputi rahmat dan akan dikelilingi oleh para malaikat dan Allah Azza wa Jalla akan selalu menyebutnya di sisi-Nya.” (HR. Muslim)

8. Orang yang mahir dalam Al Qur’an akan masuk surga bersama para malaikat yang mulia. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Bahwa orang yang pandai dalam Al Qur’an itu akan bersama para malaikat yang mulia dan siapa yang membaca Al Qur’an dengan tersendat-sendat (terbata-bata) dan mereka merasa berat maka baginya dua pahala.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

9. Keutamaan ini tidak hanya terbatas kepada pembaca Al Qur’an saja bahkan orang tua yang mempunyai anak, lalu anak itu membaca Al Qur’an dan mengamalkannya maka Allah Azza wa Jalla akan memberikan mahkota kepada kedua orang tua anak tadi pada hari kiamat, yang cahaya mahkota itu lebih bagus dari cahaya sinar matahari. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

Dari Sahl bin Muadz Al Juhhany berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Barangsiapa yang membaca Al Qur’an dan mengamalkan apa yang ada di dalamnya, maka (Allah) akan memberikan mahkota kepada kedua orangtuanya pada hari kiamat yang cahayanya lebih bagus dari sinar matahari.” (HR. Ahmad)

Wahai saudaraku ini balasan bagi kedua orangtuanya, lalu bagaimana dengan pembacanya sendiri, tentu akan lebih bagus balasannya dari Allah Azza wa Jalla, maka sungguh suatu kenikmatan yang besar bagi orangtua yang mempunyai anak lalu anak itu dididik untuk selalu membaca dan memahami Al Qur’an sejak sedini mungkin.

10. Bahkan satu ayat Al Qur’an itu lebih bagus dari seluruh apa yang ada di muka bumi ini, mulai dari harta, emas, perak dan berlian, bangunan yang tinggi, seluruh ikan yang ada di lautan, seluruh harta benda yang ada di dalam bumi dan seterusnya. Sebagaimana kata Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

“Bahwasanya dia mengajarkan Al Qur’an maka sampailah pada satu ayat maka beliau katakan kepada salah seorang, “Ambillah (ayat itu), demi Allah sungguh dia (satu ayat) itu lebih bagus dari segala sesuatu yang ada di muka bumi.” (HR. Al Haitsamy)

11. Rumah yang di dalamnya dibaca ayat-ayat Allah Azza wa Jalla akan terlihat oleh penduduk langit yaitu para malaikat, dan rumah yang tidak disebut di dalamnya ayat Allah Azza wa Jalla ibarat rumah yahudi dan nashrani. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Jadikanlah bacaan dan shalat kalian di rumah kalian, dan janganlah kalian jadikan rumah kalian sebagai kuburan, sebagaimana orang yahudi dan nashrani yang menjadikan rumah mereka kuburan. Sesungguhnya rumah yang dibaca di dalamnya Al Qur’an maka akan terlihat oleh penduduk langit sebagaimana terlihatnya bintang oleh penduduk bumi.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)

12. Tiga ayat yang dibaca dalam satu shalat itu lebih bagus dari tiga unta yang sangat besar. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Siapa di antara kalian yang pulang ke keluarganya dengan mendapatkan tiga unta yang besar dan gemuk?” Mereka jawab, “Iya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tiga ayat yang kalian baca dalam shalatnya itu lebih bagus dari pada tiga unta besar dan gemuk.” (HR. Muslim)

13. Syaithan akan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat Al Baqarah. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

14. Dilarang kita iri dengki kecuali dalam dua perkara, terhadap pengamal Al Qur’an dan orang yang selalu bershadaqah. Sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Tidak boleh iri dengki kecuali dalam dua perkara: seseorang yang Allah berikan Al Qur’an kepadanya, dia membacanya baik malam maupun siang dan seseorang yang Allah berikan kepadanya harta benda lalu ia shadaqahkan baik malam ataupun siang.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

15. Masih banyak keutamaan lainnya, namun cukup bagi kita untuk senantiasa belajar, menghafal, dan mengamalkan Al Qur’an.

ADAB MEMBACA AL QUR’AN

Hendaknya seorang yang membaca Al Qur’an memperhatikan adab-adab dalam membaca kalam Allah Azza wa Jalla yang mulia ini, sebagaimana disebutkan berikut ini:

1. Hendaknya suci dari hadats besar atau kecil. Sebagaimana Imam Bukhari rahimahullah, beliau sebelum menulis Al Hadits, berwudlu kemudian shalat dua raka’at baru kemudian menulis Al Haditr, oleh karena itulah Allah jadikan kitab beliau sangat barakah dan bermanfaat bagi kaum muslimin. Namun Imam Bukhari sendiri telah memberikan suatu bab dalam Shahih Bukhari tentang membaca Al Qur’an setelah hadats atau yang lainnya, demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla di semua waktunya.

2. Hendaknya menghadap kiblat dikala membaca Al Qur’an. Tetapi tidak mengapa kalau tidak menghadap kiblat, ini sebagai suatu keutamaan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat radhiyallahu ‘anhum dalam suatu perjalanan melantunkan bacaan Al Qur’an yang tidak mungkin kendaraan mereka selalu menghadap kiblat.

3. Menahan bacaan ketika sedang menguap. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci menguap, jika di antara kalian bersin dan memuji kepada Allah maka bagi setiap orang muslim yang mendengarnya mengatakan “yarhamukallah” (semoga Allah merahmati kalian) adapun menguap itu dari syaithan, jika kalian menguap hendaklah menahannya dengan semampunya, karena jika kalian menguap maka tertawalah syaithan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

4. Hendaknya berlindung kepada Allah dari godaan syaithan. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

“Maka jika kalian mau membaca Al Qur’an hendaklah berlindung kepada Allah dari godaan syaithan yang terkutuk.” (An Nahl: 98)

Adapun bunyinya adalah, “A’udzu billaahi minasy syaithanir rajiim”.

5. Tidak boleh meniru seperti suara perempuan. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah telah mengutuk laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Bukhari)

Telah berkata Al Hafidz Ibnu Hajar dalam jilid 10/388: “Adapun celaan tasyabbuh dengan perkataan dan gaya berjalan itu khusus bagi yang sengaja, adapun yang memang diciptakan seperti itu maka diperintahkan agar senantiasa berusaha merubahnya.”

6. Tidak memutus bacaan Al Qur’an kecuali karena suatu darurat seperti menjawab salam.

7. Berusaha memperbagus suara. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

Dari Sa’ad bin Abi Waqqas radhiyallahu ‘anhu berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Bukan jalan kami siapa yang tidak melagukan Al Qur’an.” (HR. Abu Dawud)

8. Membaca dalam keadaan khusyu’ dan berusaha memahami Al Qur’an. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an? Kalau sekiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentunya mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An Nisaa’: 82)

“Ini adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Shaad: 29)

9. Hendaknya bersih baju dan badan serta mengenakan siwak sebelum membaca, karena malaikat itu meletakkan mulutnya ke mulut pembaca. (HR. Ali bin Abi Thalib / Al Bazzar)

10. Berlindung kepada Allah dari ayat-ayat siksa dan meminta karunia-Nya ketika ada ayat-ayat rahmat. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, saya shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu malam, ia mulai dengan surat Al Baqarah, saya berkata (dalam hati) ruku’ pada (ayat) seratus, kemudian berlalu, saya berkata ruku dengannya, kemudian meneruskan membaca An Nisaa’, kemudian Ali Imran, beliau baca dengan pelan, kalau lewat suatu ayat di dalamnya ada tasbih beliau bertasbih, ada ayat permintaan beliau meminta, ada ayat perlindungan beliau berlindung.” (HR. Muslim)

Hukum Ucapan “Shadaqallahul ‘Azhim”

Hukum Ucapan “Shadaqallahul ‘Azhim”

Sekolah Penghafal Al Qur'an - Apakah setelah membaca Al Qur’an kita mengucapkan shadaqallahul ‘azhim?

Yang benar -kata Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu- adalah tidak mengucapkan, karena tidak warid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Para shahabat pun tidak melakukannya, tidak pula tabi’in dan salafush shalih. Mudah-mudahan Allah meridhai mereka semua. Perbuatan ini adalah perkara yang diada-adakan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan siapakah yang lebih benar perkataan (nya) daripada Allah?” (QS. An-Nisa’: 87)

Ditambah pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengucapkan shadaqallahul ‘azhim. Tidak pula para sahabatnya yang mulia. Ini adalah bid’ah yang mematikan sunnah, yaitu doa setelah membaca Al Qur’an. Berlandaskan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Barangsiapa yang membaca Al Qur’an, maka hendaklah dia meminta kepada Allah dengannya.” (HR. At-Tirmidzi, hasan)

Maka kita katakan: “Ya Allah, sesungguhnya kami bertawasul kepada-Mu dengan apa yang telah kami baca dari Al Qur’an, agar Engkau menolong kami.” [1]

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya :

“Bagaimanakah pendapat Anda orang yang mengakhiri bacaan Al-Qur’an dengan (ucapan) ‘Shadaqallahul ‘Adzhiim?’ Apakah kalimat ini ada dasarnya dalam syari’at? Dan apakah orang yang mengucapkannya boleh dikatakan sebagai seorang ahli bid’ah?”

Beliau rahimahullah menjawab:
Kami tidak ragu, bahwa kebiasaan ini (mengucapkan ‘Shadaqallahul ‘Adzim setelah membaca Al-Qur’an) adalah termasuk bid’ah yang diada-adakan, yang tidak terdapat pada masa As-Salafus Shalih.

Dan patut diperhatikan bahwa bid’ah dalam agama itu tidak boleh ada. Karena bid’ah pada asalnya tidak dikenal (diketahui). Walaupun bid’ah itu kadang-kadang diterima di masyarakat dan dianggap baik, tetapi dia tetap dinamakan bid’ah yang sesat. Sebagaimana diisyaratkan oleh Abdullah bin Umar: “Setiap bid’ah adalah sesat, meski manusia memandangnya baik”.

Ucapan “Shadaqallahul ‘Adzhiim (Benarlah apa yang difirmankan Allah Yang Maha Agung) adalah suatu ungkapan yang indah dan tepat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan siapakah yang lebih benar perkataan-Nya daripada Allah?” (An-Nisaa : 122)

Akan tetapi jika setiap kali kita membaca sepuluh ayat kemudian diikuti dengan membaca Shadaqallahul Adzhiim, saya khawatir suatu hari nanti bacaan Shadaqallahul Adzhiim setelah membaca ayat-ayat Al-Qur’an menjadi seperti bacaan shalawat setelah adzan.

Sebagian lain dari mereka mensyariatkan bacaan ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Katakanlah: Shadaqallah (Benarlah apa yang difirmankan Allah).” (Ali Imran: 95)

Mereka ini adalah seperti orang-orang yang membolehkan dzikir dengan membaca : Allah… Allah …. Allah [2], dengan (dalil) firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Katakanlah : Allah ….” (Ar-Ra’d : 16)

Maka firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Katakanlah : Benarlah (apa yang difirmankan) Allah”, tidak bisa dijadikan dalil tentang bolehnya mengucapkan ‘Shadaqallahul Adzhiim’ setelah selesai membaca Al-Qur’an. [Disalin dari Kitab Majmu'ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarrah edisi Indonesia Fatwa-fatwa Albani. Fatwa-Fatwa Albani, hal 37-38, Pustaka At-Tauhid] [3]

Perbedaan Al Qur’an dengan Hadits Qudsi


Perbedaan Al Qur’an dengan Hadits Qudsi

Sekolah Penghafal Al Qur'an - Tanya: Bismillah. Apa yang dimaksud dengan hadits qudsy dan apa perbedaannya dgn Al-Qur’an? Jazakumullahu khoiron.

Jawab: Hadits qudsi adalah hadits yang disnisbatkan kepada Zat yang quds (suci), yaitu Allah Ta’ala. Yang mana hadits qudsi ini disampaikan kepada kita oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Adapun perbedaan antara dia dengan Al-Qur’an, maka ada beberapa perkara yang disebutkan oleh para ulama. Di antaranya:

1. Lafazh dan makna Al-Qur’an berasal dari Allah, sementara lafazh hadis Qudsi berasal dari Rasulullah –Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam walaupun tentunya maknanya dari Allah.

2. Sanad periwayatan Al-Qur’an secara umum adalah mutawatir, yakni bisa dipastikan keabsahannya dari Nabi -alaihishshalatu wassalam-. Berbeda halnya dengan hadits qudsi, karena di antaranya ada yang merupakan hadits shahih, ada yang hasan, ada yang lemah, bahkan ada yang palsu. Jadi keabsahannya dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- belum bisa dipastikan kecuali setelah memeriksa semua sanadnya.

3. Kita berta’abbud (beribadah) kepada Allah dengan membaca Al-Qur’an, dalam artian satu huruf mendapatkan sepuluh kebaikan. Sedangkan membaca hadits qudsi tidak mendapatkan pahala huruf perhuruf seperti itu.

4. Tidak diperbolehkan membaca hadits qudsi di dalam shalat, bahkan shalatnya batal kalau dia membacanya. Berbeda halnya dengan membaca Al-Qur`an yang merupakan inti dari shalat.

5. Ayat Al-Qur`an jumlahnya kurang lebih 6666 ayat (menurut hitungan sebagian ulama dan sebagian lainnya berpendapat jumlahnya 6.236), sementara jumlah hadits qudsi yang shahih tidak sebanyak itu. Abdur Rauf Al-Munawi sendiri dalam kitabnya Al-Ittihafat As-Saniyah bi Al-Ahaditsi Al-Qudsiyah hanya menyebutkan 272 hadits.

Demikian beberapa perbedaan antara keduanya, wallahu Ta’ala a’lam.

Indahnya Hidup Bersama al-Quran


Sekolah Penghafal Al Qur'an - Alquran adalah sumber kemuliaan. Siapapun yang menjadikan Alquran sebagai panduan hidup, maka tidak ada yang akan dia dapatkan selain kemuliaan. Hidup bersama Alquran adalah kenikmatan tiada tara. Lalu, bagaimana cara mendapatkannya?

Alquran adalah sumber kemuliaan. Siapapun yang menjadikan Alquran sebagai panduan hidup, maka tidak ada yang akan dia dapatkan selain kemuliaan (QS Al-Anbiyaa [21]: 10). Namun, siapa pun yang berpaling dari tuntutan Alquran, maka Allah akan memberikan kesempitan dalam hidupnya (QS Thahaa [20]: 124).

Karena itu, syarat paling mendasar dalam berinteraksi dengan Alquran adalah bagaimana kita mampu menjadikan Alquran sebagai pedoman hidup sehari-hari.

Ada empat keuntungan yang akan kita peroleh bila berinteraksi dengan Alquran. Pertama, melahirkan jiwa yang sabar. Banyak kisah tentang cobaan berat yang menimpa para pejuang Islam. Mereka diintimidasi, disiksa, dipenjarakan, bahkan dibunuh. Namun kebersamaannya dengan Alquran membuat mereka menjadi orang-orang yang sangat tabah. Nadimah Khatul, seorang mujahidah Afghanistan, contohnya. Beliau dipenjarakan oleh kaum komunis selama enam tahun. Dan ia mengatakan, "Kami mengalami berbagai siksaan berat. Namun membaca dan mengkaji Alquran membantu kami bersabar dan bertahan menghadapinya".

Kedua, melembutkan hati. Seorang ulama mengatakan, "Sesungguhnya hati itu mengkristal sebagaimana mengkristalnya besi, maka lembutkanlah ia dengan Alquran".

Ketiga, mengokohkan hati. Difirmankan, Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu (QS Hud [11]: 120).

Keempat, sebagai nasihat dan obat tatkala hati sedih dan gundah. Allah SWT berfirman, Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasihat dari Tuhanmu dan obat bagi yang ada di dalam dada, petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (QS Yunus [10]: 57).

Cara berinteraksi dengan Alquran

Hidup bersama Alquran adalah kenikmatan tiada tara. Lalu, bagaimana cara mendapatkannya? Langkah pertama adalah membacanya (tilawah). "Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab mereka senantiasa membacanya dengan sebenar-benarnya bacaan (haqqut tilawah), mereka itulah orang-orang yang beriman kepadanya..." (QS Al-Baqarah [2]: 121).

Haqqut tilawah dalam ayat tersebut adalah berfungsinya lisan, akal, dan hati ketika melantunkan Alquran. Lisan berfungsi dengan baik ketika mampu mentartikannya. Berfungsinya akal adalah dengan memahami isi ayat yang dilantunkan. Sedangkan berfungsinya hati adalah dengan merenungkan nasihat-nasihat yang terkandung di dalamnya.

Dikisahkan, Imam Rafi'i bin Mahran pernah menderita penyakit akalah, yaitu sejenis tumor tulang pada bagian lutut. Satu-satunya cara untuk menghilangkan penyakit tersebut adalah dengan mengamputasi kaki. Waktu itu dokter menawarkankhamr untuk meredam rasa sakit tatkala proses amputasi dilakukan. Tapi Imam Rafi'i menolak dan ia mengatakan, "Aku punya obat yang lebih mujarab dari apa yang engkau tawarkan kepadaku. Datangkan saja kepada saya seorang qari."

Selanjutnya ia berkata, "Dokter, apabila ayat Alquran tengah dilantunkan dan anda melihat muka saya memerah dan mata saya terbelalak, itulah saat yang tepat untuk memotong kaki saya".

Ketika qari melantunkan ayat-ayat Alquran, memerahlah muka serta terbelalaklah mata Imam Rafi'i. Khususnya saat ia mendengar ayat yang berisi peringatan serta ancaman Allah SWT Imam Rafi'i merasakan seolah-olah ancaman itu ditujukan pada dirinya. Saat itulah dokter mulai memotong urat-urat serta menggergaji tulang kaki. Subhanallah, tidak terdengar satu pun keluhan yang keluar dari mulut lelaki saleh ini.

Mengkaji Alquran
Setelah membaca, interaksi seorang Muslim dengan Alquran adalah mengkaji serta memahaminya. Hal ini tidak terlepas dari fungsi Alquran sebagai pedoman hidup (QS Al-Baqarah [2]: 2).

Secara redaksional, Alquran diturunkan dalam bahasa Arab. Akibatnya, kita tidak bisa merealisasikan fungsi Alquran sebagai petunjuk bila Alquran hanya dibaca saja. Karena itu, memahami Alquran secara baik dan benar menjadi kewajiban seorang Muslim.

Ada beberapa syarat yang ditetapkan para ulama agar tidak terjadi penyimpangan dalam menafsirkan Alquran, di antaranya: (1) Memiliki akidah yang benar, (2) Bersih dari hawa nafsu, (3) Adil, (4) Memiliki pengetahuan bahasa Arab. Sebab, Allah SWT menurunkan Alquran dalam bahasa Arab (lihat QS Az-Zukhruf [43]: 2), dan (5) Menguasai ilmu-ilmu Alquran.

Memahami Alquran

Pertama, memahami Alquran dengan Alquran itu sendiri (tafsir quran bil quran). Sesungguhnya Alquran merupakan penjelas yang membenarkan satu bagian dengan bagian lainnya. Rasulullah SAW bersabda, "Ssementara Allah menurunkan kitab-Nya untuk saling membenarkan satu sama lain." (HR Bukhari).

Contoh ayat yang ditafsirkan dengan ayat lain: Dalam QS Al-Fatihah [1] ayat 7, ''(yaitu) orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat kepada mereka.'' Dalam ayat ini tidak dijelaskan siapa orang-orang yang diberikan nikmat itu. Maka Allah SWT menjelaskan dalam QS An-Nisa [4] ayat 69, ''Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya) mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.''

Kedua, Memahami Alquran dengan sunah nabi yang shahih. Ibnu Taimiyyah berkata, "Cara yang paling shahih dalam memahami Alquran adalah menafsirkan Alquran dengan Alquran. Jika engkau tidak menemukan itu maka engkau mengambil sunnah, karena ia adalah penjelas Alquran".

Imam Syafi'i mengatakan bahwa seluruh apa yang dihukumkan oleh Rasulullah SAW adalah dari apa yang beliau dapat dari Alquran. Contoh pemahaman Alquran dengan sunah: dalam Alquran ada beberapa ayat yang memerintahkan shalat. Namun, penjelasan bagaimana melakukan shalat hanya akan kita temukan dalam sunnah. Rasulullah SAW bersabda, "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat."

Ketiga, memahami Alquran dengan pemahaman para sahabat dan tabi'in. Imam Ibnu Taimiyyah mengatakan, "Jika engkau tidak menemukan tafsir dalam satu ayat Alquran, tidak juga dalam sunah, maka engkau harus mencarinya dalam perkataan para sahabat. Mereka paling mengetahui hal itu, sebab mereka melihat (qarain) situasi yang terjadi pada saat Alquran itu diturunkan. Ditambah dengan ketinggian kemampuan bahasa dan kejernihan pemahaman mereka."

Contoh, pemahaman mereka terhadap kalimat "jalan yang lurus" dalam QS Al-Fatihah [1] ayat 6. Maksudnya adalah Islam atau Alquran atau sunnah Nabi atau sunah Khulafaur Rasyidin.

Pemahaman yang benar terhadap Alquran akan melahirkan sikap yang benar. Insya Allah.

Hukum Al Qur’an dan Adzan Sebagai Ringtone

Sekolah Penghafal Al Qur'an - Telah tersebar di tengah-tengah kaum muslimin, penggunaan ringtone berupa bacaan ayat-ayat Al-Qur`an atau zikir yang lainnya. Akan tetapi tahukah anda apa hukumnya?

Berikut jawaban dari Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan -hafizhahullah- tatkala beliau ditanya dengan konteks pertanyaan sebagai berikut:
Apa pendapat anda mengenai orang yang menggunakan suara azan atau bacaan Al-Qur`an Al-Karim sebagai ringtone hp sebagai ganti dari ringtone musik?

Jawab: Ini adalah perbuatan merendahkan azan, zikir dan Al-Qur`an Al-Karim. Karenanya dia tidak boleh dijadikan sebagai ringtone, dia tidak boleh dijadikan sebagai ringtone.

Ada yang mengatakan: “Ini lebih baik daripada ring tone yang berupa musik.” Baiklah, tentang ring tone musik ini, apakah kamu dipaksa untuk memakainya?!! Tinggalkanlah (ringtone yang berupa) musik. Pasanglah ringtone yang tidak ada musik di dalamnya dan tidak pula ada bacaan Al-Qur`an di dalamnya. Cukup sebagai pemberitahu akan adanya panggilan masuk. [Dari kaset yang berjudul: Liqa` Al-Maftuh ma'a Asy-Syaikh Al- Allamah Shalih bin Fauzan Al-Fauzan -hafizhahullah-, pada tanggal 23-10-1426H]

Berlomba Dalam Kebaikan

Berlomba Dalam Kebaikan

Sekolah Penghafal Al Qur'an - Al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan,
“Wahai anak Adam, jika engkau melihat manusia berada dalam sebuah kebaikan, saingilah mereka. Namun, jika engkau melihatnya berada pada sebuah kebinasaan, janganlah engkau menyaingi mereka dan pilihan mereka.”

“Sungguh, kami telah melihat beberapa kaum lebih memilih bagian mereka yang disegerakan (di dunia) daripada yang diakhirkan (di akhirat). Akhirnya, mereka menjadi hina, binasa, dan terkenal (keburukannya).”

Beliau rahimahullah mengatakan pula,
“Barangsiapa yang berlomba denganmu dalam hal agama, saingilah dia. Adapun orang yang menyaingimu dalam hal duniamu, lemparkanlah urusan dunia itu ke lehernya.”

Beliau rahimahullah mengatakan pula,
“Apabila engkau melihat manusia menyaingimu dalam hal dunia, saingilah mereka dalam hal akhirat. Sungguh, dunia mereka akan hilang dan akhirat akan kekal.”

(Mawa’izh al-Imam al-Hasan al-Bashri, hlm. 57-58)

Bacaan Setelah Membaca Al Qur’an


Sekolah Penghafal Al Qur'an - Al- Qur’an adalah kalam Allah yang merupakan mukjizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Rasulullah saw. Setiap mukmin mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap kitab sucinya. Diantara kewajiban dan tanggung jawab itu adalah mempelajari dan mengamalkannya.

Belajar Al-Qur’an dapat dibagi kepada beberapa tingkatan yaitu belajar membaca sampai baik dan lancar dengan kaidah-kaidah yang berlaku dalam qiraat dan tajwid, belajar arti dan maksud yang mengandung di dalamnya, dan tingkatan yang terakhir adalah menghafalnya. Cara baca al-qur’an yang benar adalah dengan memperhatikan beberapa hal seperti yang disebutkan tadi dalam tingkatannya.

Penjelasan menarik mengenai bacaan penutup setelah membaca Al Qur’an.
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله.
أما بعد: فإنَّ إحياء السنن النبوية من أعظم القربات إلى الله،

Sesungguhnya menghidupkan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah termasuk amal yang sangat bernilai untuk mendekatkan diri kepada Allah.

فَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ، قَالَ: (( مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا )) [رواه مسلم].

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mengajak orang lain kepada kebaikan maka baginya pahala semua orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun” (HR Muslim).

فإليكم أحبتي في الله، هذه السُّنة التي غفل عنها كثيرٌ من الناس:

Saudaraku, berikut ini adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah dilalaikan oleh banyak orang.

يُسْتَحَبُّ بعد الانتهاء من تلاوة القرآن أن يُقال:
((سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ،لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ)).

Setelah selesai membaca al Qur’an dianjurkan untuk mengucapkan bacaan berikut ini: Subhanakallahumma wa bihamdika laa ilaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaika. Yang artinya: maha suci Engkau ya Allah sambil memuji-Mu. Tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.

الدليل: عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ : مَا جَلَسَ رَسُولُ اللهِ مَجْلِسًا قَطُّ، وَلاَ تَلاَ قُرْآناً، وَلاَ صَلَّى صَلاَةً إِلاَّ خَتَمَ ذَلِكَ بِكَلِمَاتٍ، قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَرَاكَ مَا تَجْلِسُ مَجْلِساً، وَلاَ تَتْلُو قُرْآنًا، وَلاَ تُصَلِّي صَلاَةً إِلاَّ خَتَمْتَ بِهَؤُلاَءِ الْكَلِمَاتِ ؟
قَالَ: (( نَعَمْ، مَنْ قَالَ خَيْراً خُتِمَ لَهُ طَابَعٌ عَلَى ذَلِكَ الْخَيْرِ، وَمَنْ قَالَ شَرّاً كُنَّ لَهُ كَفَّارَةً: سُبْحَانَكَ [اللَّهُمَّ] وَبِحَمْدِكَ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ ))([]).

Dalilnya, dari Aisyah beliau berkata, “Tidaklah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- duduk di suatu tempat atau membaca al Qur’an ataupun melaksanakan shalat kecuali beliau akhiri dengan membaca beberapa kalimat”. Akupun bertanya kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Ya Rasulullah, tidaklah anda duduk di suatu tempat, membaca al Qur’an ataupun mengerjakan shalat melainkan anda akhiri dengan beberapa kalimat?” Jawaban beliau, “Betul, barang siapa yang mengucapkan kebaikan maka dengan kalimat tersebut amal tadi akan dipatri dengan kebaikan. Barang siapa yang mengucapkan kejelekan maka kalimat tersebut berfungsi untuk menghapus dosa. Itulah ucapan Subhanakallahumma wa bihamdika laa ilaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaika. ”

) إسناده صحيح: أخرجه النسائي في “السنن الكبرى” (9/123/10067)، والطبراني في “الدعاء” (رقم1912)، والسمعاني في “أدب الإملاء والاستملاء” (ص75)، وابن ناصر الدين في “خاتمة توضيح المشتبه” (9/282).

Hadits di atas sanadnya shahih, diriwayatkan oleh Nasai dalam Sunan Kubro 9/123/1006, Thabrani dalam ad Du-a no 1912, Sam’ani dalam Adab al Imla’ wa al Istimla’ hal 75 dan Ibnu Nashiruddin dalam Khatimah Taudhih al Musytabih 9/282.

وقال الحافظ ابن حجر في “النكت” (2/733): [إسناده صحيح]، وقال الشيخ الألباني في “الصحيحة” (7/495): [هذا إسنادٌ صحيحٌ أيضاً على شرط مسلم]، وقال الشيخ مُقْبِل الوادعي في “الجامع الصحيح مما ليس في الصحيحين” (2/12: [هذا حديثٌ صحيحٌ

Al Hafizh Ibnu Hajar dalam an Nukat 2/733 mengatakan, “Sanadnya shahih”. Syaikh al Albani dalam Shahihah 7/495 mengatakan, “Sanad ini adalah sanad yang juga shahih menurut kriteria Muslim”. Syaikh Muqbil al Wadi’I dalam al Jami’ al Shahih mimma laisa fi al Shahihain 2/12 mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang shahih”.

وقد بَوَّبَ الإمام النسائي على هذا الحديث بقوله: [ما تُختم به تلاوة القرآن].

Hadits ini diberi judul bab oleh Nasai dengan judul “Bacaan penutup setelah membaca al Qur’an”.

Catatan:

Realita menunjukkan bahwa ketika banyak orang meninggalkan amalan yang sesuai dengan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka muncullah amalan yang mengada-ada.
Banyak orang mengganti bacaan yang sesuai sunah Nabi di atas dengan bacaan tashdiq yaitu ucapan Shadaqallahul ‘azhim yang tidak ada dalilnya.

Seputar Bacaan Basmalah


Sekolah Penghafal Al Qur'an - Para ulama berselisih pandang tentang apakah basmalah termasuk ayat dari Al-Fatihah. Kita akan melihat perselisihan mereka dari beberapa sisi.

Apakah Basmalah Termasuk Ayat Al-Qur’an?

Dalam hal ini ada tiga pendapat ulama:

1. Basmalah bukan bagian dari Al-Qur’an kecuali ayat ke-30 pada surah An-Naml.

Ini pendapat Al-Imam Malik dan sekelompok ulama Hanafiyah. Juga dinukilkan oleh sebagian pengikut Al-Imam Ahmad dalam sebuah riwayat dari beliau bahwa ini mazhab beliau.

2. Basmalah adalah ayat dari setiap surah atau sebagian surah.

Ini mazhab Al-Imam Syafi’i dan yang mengikuti beliau. Akan tetapi, dalam sebuah penukilan dari beliau disebutkan bahwa basmalah bukan ayat di permulaan setiap surah kecuali Al-Fatihah, sedangkan surah lain hanyalah dibuka dengan basmalah untuk tabarruk (mencari berkah).

3. Basmalah adalah bagian dari Al-Qur’an, namun dia bukan termasuk bagian surah, tetapi ayat yang berdiri sendiri dan dibaca di awal setiap surah Al-Qur’an kecuali surah At-Taubah, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membacanya ketika diturunkan kepada beliau surah Al-Kautsar seperti yang diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullah dalam Shahih-Nya.

Ini merupakan pendapat Al-Imam Abdullah ibnul Mubarak, Al-Imam Ahmad, dan Abu Bakr ar-Razi -beliau menyebutkan bahwa inilah yang diinginkan oleh mazhab Abu Hanifah-. Ini pula pendapat para muhaqqiq (peneliti) dalam masalah ini.

Kami lebih condong kepada pendapat yang terakhir ini.

Apakah Basmalah Itu Ayat Pertama Al-Fatihah?

Ada dua pendapat ulama tentang hal ini:

1. Basmalah bagian dari surah Al-Fatihah, namun bukan bagian surah yang lain, sehingga wajib membacanya ketika membaca Al-Fatihah.

2. Tidak dibedakan antara Al-Fatihah dan surah yang lainnya dalam Al-Qur’an, sehingga membaca basmalah di awal surah lainnya (karena basmalah adalah ayat yang berdiri sendiri). Pendapat ini bersesuaian dengan hadits yang shahih, dan inilah pendapat yang rajih (kuat) menurut penulis.

Bacaan Basmalah dalam Shalat

Ada tiga pendapat ulama tentang hal ini:

1. Wajib seperti wajibnya membaca Al-Fatihah.

Ini merupakan pendapat Al-Imam Syafi’i, sebuah riwayat dari Al-Imam Ahmad dan sekelompok ahlul hadits. Pendapat ini dibangun berdasar anggapan bahwa basmalah itu bagian dari Al-Fatihah.

2. Makruh (dibenci) baik secara sirr maupun jahr.

Pendapat ini masyhur dari mazhab Al-Imam Malik.

3. Boleh, bahkan mustahabbah (disenangi).

Ini pendapat yang masyhur dari Al-Imam Ahmad, Abu Hanifah, dan kebanyakan ulama ahlul hadits. Ini pula pendapat yang kami pilih.

Pendapat ini juga dipegangi oleh orang yang berpendapat boleh membacanya ataupun tidak karena berkeyakinan bahwa kedua hal tersebut adalah qira’ah/bacaan Al-Qur’an yang diperkenankan.

Apakah Basmalah Dibaca Jahr atau Sirr?

Dalam hal ini juga ada perbedaan pendapat:

1. Disunnahkan membacanya jahr.

Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan ulama lain.

2. Disunnahkan membacanya secara sirr.

Ini merupakan pendapat jumhur ulama ahlul hadits dan ahli ra’yu, serta pendapat mayoritas fuqaha di dunia.

3. Seseorang bisa memilih secara jahr atau sirr.

Pendapat ini diriwayatkan dari Al-Imam Ishaq bin Rahawaih. Ini juga pendapat Al-Imam Ibnu Hazm dan lainnya. (Majmu’ Fatawa, 22/435-437)

Kami (penulis) dalam hal ini berpegang dengan pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa basmalah dibaca dengan sirr. Wallahu a’lam bish-shawab.

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Yang diamalkan oleh mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam -di antara mereka Abu Bakr, Umar, Utsman, dan selainnya radhiyallahu ‘anhum- dan ulama setelah mereka dari kalangan tabi’in, serta pendapat yang dipegang Sufyan ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad, dan Ishaq, bahwasanya ucapan basmalah tidak dijahrkan. Mereka mengatakan, orang yang shalat mengucapkannya dengan perlahan, cukup didengarnya sendiri.” (Sunan At-Tirmidzi, 1/155)

Guru besar kami, Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muqbil ibnu Hadi al-Wadi’i rahimahullah, dalam kitab beliau, Al-Jami’us Shahih mimma Laisa fish Shahihain (97/2), menyatakan bahwa riwayat hadits-hadits yang menyebutkan basmalah dibaca sirr itu lebih shahih/kuat daripada riwayat yang menyebutkan bacaan basmalah secara jahr.

Adapun Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dan pengikut mazhabnya, juga -sebelum mereka- beberapa sahabat, di antaranya Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Ibnuz Zubair radhiyallahu ‘anhum, serta kalangan tabi’in, berpendapat bahwa bacaan basmalah dijahrkan. (Sunan At-Tirmidzi, 1/155)

Bolehnya Membaca Basmalah Secara Jahr dalam Keadaan Tertentu Karena Maslahat

Samahatusy Syaikh Al-Imam Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Riwayat yang menyebutkan basmalah dibaca dengan jahr dibawa kepada (pemahaman) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjahrkan basmalah untuk mengajari orang yang shalat di belakang beliau (para makmum) apabila beliau membacanya (dalam shalat sebelum membaca Alhamdulillah…). Dengan pemahaman seperti ini, berkumpullah hadits-hadits shahih yang memperkuat apa yang ditunjukkan oleh hadits Anas radhiyallahu ‘anhu yaitu disyariatkannya membaca basmalah secara sirr.” (Ta’liq terhadap Fathul Bari, 2/296)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Terkadang disyariatkan membaca basmalah dengan jahr karena sebuah maslahat yang besar, seperti pengajaran imam terhadap makmum, atau menjahrkannya dengan ringan untuk melunakkan hati dan mempersatukan kalimat kaum muslimin yang dikhawatirkan mereka akan lari kalau diamalkan sesuatu yang lebih afdhal. Hal ini sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengurungkan keinginan untuk membangun kembali Baitullah sesuai dengan fondasi Ibrahim ‘alahis salam karena kaum Quraisy di Makkah pada waktu itu baru saja meninggalkan masa jahiliyah dan masuk Islam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhawatirkan mereka dan melihat maslahat yang lebih besar berkenaan dengan persatuan dan keutuhan hati-hati kaum muslimin. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pun lebih memilih hal tersebut daripad membangun Baitullah di atas fondasi Ibrahim ‘alaihi salam.

Pernah pula Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu shalat dengan sempurna empat rakaat di belakang Khalifah Utsman bin Affam radhiyallahu ‘anhu dalam keadaan mereka sedang safar. Orang-orang pun mengingkari Ibnu Mas’ud yang mengikuti perbuatan Utsman radhiyallahu ‘anhu, karena seharusnya dia shalat dua rakaat dengan mengqashar. Akan tetapi, beliau radhiyallahu ‘anhu menjawab dan menyatakan, “Perselisihan itu jelek.”

Oleh karena itu, para imam, seperti Al-Imam Ahmad dan lainnya, membolehkan berpindah dari yang afdhal kepada yang tidak afdhal, seperti menjahrkan basmalah dalam suatu keadaan, menyambung shalat witir, atau yang lainnya, untuk menjaga persatuan kaum mukminin, mengajari mereka As-Sunnah, dan yang semisalnya.” (Majmu’ Fatawa, 22/437-438)

Wallahu a’lam bish-shawab.

Hukum Belajar Tajwid Al Qur’an

Hukum Belajar Tajwid Al Qur’an

Sekolah Penghafal Al Qur'an - Hukum belajar ilmu tajwid adalah fardhu kifayah. Kalau ada dalam suatu tempat ada seseorang yang menguasai ilmu ini maka bagi yang lainnya tidak menanggung dosa, kalau sampai tidak ada maka seluruh kaum muslimin menanggung dosa.

Sedangkan membaca Al Qur’an dengan tajwid adalah wajib ‘ain artinya bagi seorang yang mukalaf baik laki-laki atau perempuan harus membaca Al Qur’an dengan tajwid, kalau tidak maka dia berdosa, hal ini berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah dan ucapan para ulama.

1. Dalil-dalil dari Al Qur’an

1. Firman Allah Azza wa Jalla:

“…dan bacalah Al Qur’an itu dengan tartil.” (Al Muzzammil: 4)

Maksud tartil itu adalah membaguskan huruf dan mengetahui tempat berhenti, keduanya ini tidak akan bisa dicapai kecuali harus belajar dari ulama atau orang yang ahli dalam bidang ini, dan perintah ini menunjukkan suatu kewajiban sampai datang dalil yang bisa merubah arti tersebut.

2. Firman Allah Azza wa Jalla:

“Orang-orang yang telah kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Al Baqarah: 121)

Dan mereka tidak akan membaca dengan sebenarnya kecuali harus dengan tajwid, kalau meninggalkan tajwid tersebut maka bacaan itu menjadi bacaan yang sangat jelek bahkan kadang-kadang bisa berubah arti. Ayat ini menunjukkan sanjungan Allah Azza wa Jalla bagi siapa yang membaca Al Qur’an dengan bacaan sebenarnya.

3. Firman Allah Azza wa Jalla:

“Dan kami membacanya dengan tartil (teratur dengan benar).” (Al Furqan: 32)

Ini adalah sifat Kalamullah, maka wajib bagi kita untuk membacanya dengan apa yang diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla.

2. Dalil-dalil dari As Sunnah

1. Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ketika ditanya bagaimana bacaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau menjawab bahwa bacaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam itu dengan panjang-panjang kemudian dia membaca “Bismillahirrahman arrahiim” memanjangkan (bismillah) serta memanjangkan (ar rahmaan) dan memanjangkan ar rahiim.” (HR. Bukhari)

2. Perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada sahabat agar mengambil bacaan dari sahabat yang mampu dalam bidang ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Dari Abdullah bin Amr bin Ash berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Mintalah kalian bacaan Al Qur’an dari Abdullah bin Mas’ud, Salim Maula Abi Hudzaifah, Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini adalah para sahabat yang mulia, padahal mereka itu orang-orang yang paling fasih dalam pengucapan Al Qur’an masih disuruh belajar, lalu bagaimana dengan kita orang asing yang lisan kita jauh dari lisan Al Qur’an?

3. Dan dalil yang paling kuat sebagaimana apa yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansur ketika Ibnu Mas’ud menuntun seseorang membaca Al Qur’an. Maka orang itu mengucapkan:

“Innamash shadaqatu lil fuqara-i wal masakin.”

Dengan meninggalkan bacaan panjangnya, maka Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu katakan, “Bukan begini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membacakan ayat ini kepadaku.” Maka orang itu jawab, “Lalu bagaimana Rasulullah membacakan ayat ini kepadamu wahai Abu Abdirrahman?” Maka beliau ucapkan:

“Innamash shadaqaatu lil fuqaraa-i wal masaakiin.”

Dengan memanjangkannya. (HR. Sa’id bin Mansur)

Ibnu Mas’ud langsung menegur orang ini padahal ini tidak merubah arti, akan tetapi bacaan Al Qur’an itu adalah suatu hal yang harus diambil sesuai dengan apa yang Rasulullah ucapkan.

3. Ijma’

Seluruh qura’ telah sepakat tentang wajibnya membaca Al Qur’an dengan tajwid.

Fatwa Para Ulama Dalam Permasalahan Ini

1. Fatwa Ibnu Al Jazary

Tidak diragukan lagi bahwa mereka itu beribadah dalam upaya memahami Al Qur’an dan menegakkan ketentuan-ketentuannya, beribadah dalam pembenaran lafadz-lafadznya, menegakkan huruf yang sesuai dengan sifat dari ulama qura’ yang sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. (Annasyr 1/210)

2. Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Adapun orang yang keliru yang kelirunya itu tersembunyi (kecil) dan mungkin mencakup qira’at yang lainnya, dan ada segi bacaan di dalamnya, maka dia tidak batal shalatnya dan tidak boleh shalat di belakangnya seperti orang yang membaca “as sirath” dengan ‘sin’, pergantian dari “ash shirath, karena itu qira’at yang mutawatir. (Majmu’ Fatawa 22/442 dan 23/350)

Dari fatwa ini bisa kita ambil kesimpulan:

1. Tidak selayaknya seorang yang masih salah dalam bacaan (kesalahan secara tersembunyi) untuk menjadi imam shalat, lalu bagaimana dengan yang mempunyai kesalahan yang fatal seperti yang tidak bisa membedakan antara ‘sin’ dengan ‘tsa’ atau ‘dal’ dengan ‘dzal’, yang jelas-jelas merubah arti.

2. Secara tidak langsung Syaikhul Islam telah mewajibkan untuk membaca Al Qur’an dengan tajwid karena kesalahan kecil itu tidak sampai merubah arti, beliau melarang untuk shalat di belakangnya, lalu bagaimana dengan kesalahan yang besar.

3. Fatwa Syaikh Nashiruddin Al Albany

Ketika ditanya tentang perkataan Ibnul Jazary tersebut di atas, maka beliau mengatakan kalau yang dimaksud itu sifat bacaannya di mana Al Qur’an itu turun dengan memakai tajwid dan dengan tartil maka itu adalah benar, tapi kalau yang dimaksud cuma lafadz hurufnya maka itu tidak benar. (Al Qaulul Mufid fii Wujub At Tajwid, hal. 26)

4. Fatwa Asy Syaikh Makki Nashr

Telah sepakat seluruh umat yang terbebas dari kesalahan tentang wajibnya tajwid mulai zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampai zaman sekarang ini dan tidak ada seorang pun yang menyelisihi pendapat ini. (Nihayah Qaul Mufid hal. 10)

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: Panduan Praktis Tajwid & Bid’ah-bid’ah Seputar Al Qur’an serta 250 Kesalahan dalam Membaca Al Fatihah, penulis: Al Ustadz Abu Hazim bin Muhammad Bashori, penerbit: Maktabah Daarul Atsar, Magetan. Hal. 33-38.