Sekolah Penghafal Al Qur'an - Apakah setelah membaca Al Qur’an kita mengucapkan shadaqallahul ‘azhim?
Yang benar -kata Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu- adalah tidak mengucapkan, karena tidak warid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Para shahabat pun tidak melakukannya, tidak pula tabi’in dan salafush shalih. Mudah-mudahan Allah meridhai mereka semua. Perbuatan ini adalah perkara yang diada-adakan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan siapakah yang lebih benar perkataan (nya) daripada Allah?” (QS. An-Nisa’: 87)
Ditambah pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengucapkan shadaqallahul ‘azhim. Tidak pula para sahabatnya yang mulia. Ini adalah bid’ah yang mematikan sunnah, yaitu doa setelah membaca Al Qur’an. Berlandaskan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Barangsiapa yang membaca Al Qur’an, maka hendaklah dia meminta kepada Allah dengannya.” (HR. At-Tirmidzi, hasan)
Maka kita katakan: “Ya Allah, sesungguhnya kami bertawasul kepada-Mu dengan apa yang telah kami baca dari Al Qur’an, agar Engkau menolong kami.” [1]
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya :
“Bagaimanakah pendapat Anda orang yang mengakhiri bacaan Al-Qur’an dengan (ucapan) ‘Shadaqallahul ‘Adzhiim?’ Apakah kalimat ini ada dasarnya dalam syari’at? Dan apakah orang yang mengucapkannya boleh dikatakan sebagai seorang ahli bid’ah?”
Beliau rahimahullah menjawab:
Kami tidak ragu, bahwa kebiasaan ini (mengucapkan ‘Shadaqallahul ‘Adzim setelah membaca Al-Qur’an) adalah termasuk bid’ah yang diada-adakan, yang tidak terdapat pada masa As-Salafus Shalih.
Dan patut diperhatikan bahwa bid’ah dalam agama itu tidak boleh ada. Karena bid’ah pada asalnya tidak dikenal (diketahui). Walaupun bid’ah itu kadang-kadang diterima di masyarakat dan dianggap baik, tetapi dia tetap dinamakan bid’ah yang sesat. Sebagaimana diisyaratkan oleh Abdullah bin Umar: “Setiap bid’ah adalah sesat, meski manusia memandangnya baik”.
Ucapan “Shadaqallahul ‘Adzhiim (Benarlah apa yang difirmankan Allah Yang Maha Agung) adalah suatu ungkapan yang indah dan tepat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan siapakah yang lebih benar perkataan-Nya daripada Allah?” (An-Nisaa : 122)
Akan tetapi jika setiap kali kita membaca sepuluh ayat kemudian diikuti dengan membaca Shadaqallahul Adzhiim, saya khawatir suatu hari nanti bacaan Shadaqallahul Adzhiim setelah membaca ayat-ayat Al-Qur’an menjadi seperti bacaan shalawat setelah adzan.
Sebagian lain dari mereka mensyariatkan bacaan ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Katakanlah: Shadaqallah (Benarlah apa yang difirmankan Allah).” (Ali Imran: 95)
Mereka ini adalah seperti orang-orang yang membolehkan dzikir dengan membaca : Allah… Allah …. Allah [2], dengan (dalil) firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Katakanlah : Allah ….” (Ar-Ra’d : 16)
Maka firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Katakanlah : Benarlah (apa yang difirmankan) Allah”, tidak bisa dijadikan dalil tentang bolehnya mengucapkan ‘Shadaqallahul Adzhiim’ setelah selesai membaca Al-Qur’an. [Disalin dari Kitab Majmu'ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarrah edisi Indonesia Fatwa-fatwa Albani. Fatwa-Fatwa Albani, hal 37-38, Pustaka At-Tauhid] [3]
Yang benar -kata Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu- adalah tidak mengucapkan, karena tidak warid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Para shahabat pun tidak melakukannya, tidak pula tabi’in dan salafush shalih. Mudah-mudahan Allah meridhai mereka semua. Perbuatan ini adalah perkara yang diada-adakan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan siapakah yang lebih benar perkataan (nya) daripada Allah?” (QS. An-Nisa’: 87)
Ditambah pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengucapkan shadaqallahul ‘azhim. Tidak pula para sahabatnya yang mulia. Ini adalah bid’ah yang mematikan sunnah, yaitu doa setelah membaca Al Qur’an. Berlandaskan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Barangsiapa yang membaca Al Qur’an, maka hendaklah dia meminta kepada Allah dengannya.” (HR. At-Tirmidzi, hasan)
Maka kita katakan: “Ya Allah, sesungguhnya kami bertawasul kepada-Mu dengan apa yang telah kami baca dari Al Qur’an, agar Engkau menolong kami.” [1]
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya :
“Bagaimanakah pendapat Anda orang yang mengakhiri bacaan Al-Qur’an dengan (ucapan) ‘Shadaqallahul ‘Adzhiim?’ Apakah kalimat ini ada dasarnya dalam syari’at? Dan apakah orang yang mengucapkannya boleh dikatakan sebagai seorang ahli bid’ah?”
Beliau rahimahullah menjawab:
Kami tidak ragu, bahwa kebiasaan ini (mengucapkan ‘Shadaqallahul ‘Adzim setelah membaca Al-Qur’an) adalah termasuk bid’ah yang diada-adakan, yang tidak terdapat pada masa As-Salafus Shalih.
Dan patut diperhatikan bahwa bid’ah dalam agama itu tidak boleh ada. Karena bid’ah pada asalnya tidak dikenal (diketahui). Walaupun bid’ah itu kadang-kadang diterima di masyarakat dan dianggap baik, tetapi dia tetap dinamakan bid’ah yang sesat. Sebagaimana diisyaratkan oleh Abdullah bin Umar: “Setiap bid’ah adalah sesat, meski manusia memandangnya baik”.
Ucapan “Shadaqallahul ‘Adzhiim (Benarlah apa yang difirmankan Allah Yang Maha Agung) adalah suatu ungkapan yang indah dan tepat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan siapakah yang lebih benar perkataan-Nya daripada Allah?” (An-Nisaa : 122)
Akan tetapi jika setiap kali kita membaca sepuluh ayat kemudian diikuti dengan membaca Shadaqallahul Adzhiim, saya khawatir suatu hari nanti bacaan Shadaqallahul Adzhiim setelah membaca ayat-ayat Al-Qur’an menjadi seperti bacaan shalawat setelah adzan.
Sebagian lain dari mereka mensyariatkan bacaan ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Katakanlah: Shadaqallah (Benarlah apa yang difirmankan Allah).” (Ali Imran: 95)
Mereka ini adalah seperti orang-orang yang membolehkan dzikir dengan membaca : Allah… Allah …. Allah [2], dengan (dalil) firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Katakanlah : Allah ….” (Ar-Ra’d : 16)
Maka firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Katakanlah : Benarlah (apa yang difirmankan) Allah”, tidak bisa dijadikan dalil tentang bolehnya mengucapkan ‘Shadaqallahul Adzhiim’ setelah selesai membaca Al-Qur’an. [Disalin dari Kitab Majmu'ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarrah edisi Indonesia Fatwa-fatwa Albani. Fatwa-Fatwa Albani, hal 37-38, Pustaka At-Tauhid] [3]
0 komentar:
Posting Komentar