Seputar Bacaan Basmalah


Sekolah Penghafal Al Qur'an - Para ulama berselisih pandang tentang apakah basmalah termasuk ayat dari Al-Fatihah. Kita akan melihat perselisihan mereka dari beberapa sisi.

Apakah Basmalah Termasuk Ayat Al-Qur’an?

Dalam hal ini ada tiga pendapat ulama:

1. Basmalah bukan bagian dari Al-Qur’an kecuali ayat ke-30 pada surah An-Naml.

Ini pendapat Al-Imam Malik dan sekelompok ulama Hanafiyah. Juga dinukilkan oleh sebagian pengikut Al-Imam Ahmad dalam sebuah riwayat dari beliau bahwa ini mazhab beliau.

2. Basmalah adalah ayat dari setiap surah atau sebagian surah.

Ini mazhab Al-Imam Syafi’i dan yang mengikuti beliau. Akan tetapi, dalam sebuah penukilan dari beliau disebutkan bahwa basmalah bukan ayat di permulaan setiap surah kecuali Al-Fatihah, sedangkan surah lain hanyalah dibuka dengan basmalah untuk tabarruk (mencari berkah).

3. Basmalah adalah bagian dari Al-Qur’an, namun dia bukan termasuk bagian surah, tetapi ayat yang berdiri sendiri dan dibaca di awal setiap surah Al-Qur’an kecuali surah At-Taubah, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membacanya ketika diturunkan kepada beliau surah Al-Kautsar seperti yang diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullah dalam Shahih-Nya.

Ini merupakan pendapat Al-Imam Abdullah ibnul Mubarak, Al-Imam Ahmad, dan Abu Bakr ar-Razi -beliau menyebutkan bahwa inilah yang diinginkan oleh mazhab Abu Hanifah-. Ini pula pendapat para muhaqqiq (peneliti) dalam masalah ini.

Kami lebih condong kepada pendapat yang terakhir ini.

Apakah Basmalah Itu Ayat Pertama Al-Fatihah?

Ada dua pendapat ulama tentang hal ini:

1. Basmalah bagian dari surah Al-Fatihah, namun bukan bagian surah yang lain, sehingga wajib membacanya ketika membaca Al-Fatihah.

2. Tidak dibedakan antara Al-Fatihah dan surah yang lainnya dalam Al-Qur’an, sehingga membaca basmalah di awal surah lainnya (karena basmalah adalah ayat yang berdiri sendiri). Pendapat ini bersesuaian dengan hadits yang shahih, dan inilah pendapat yang rajih (kuat) menurut penulis.

Bacaan Basmalah dalam Shalat

Ada tiga pendapat ulama tentang hal ini:

1. Wajib seperti wajibnya membaca Al-Fatihah.

Ini merupakan pendapat Al-Imam Syafi’i, sebuah riwayat dari Al-Imam Ahmad dan sekelompok ahlul hadits. Pendapat ini dibangun berdasar anggapan bahwa basmalah itu bagian dari Al-Fatihah.

2. Makruh (dibenci) baik secara sirr maupun jahr.

Pendapat ini masyhur dari mazhab Al-Imam Malik.

3. Boleh, bahkan mustahabbah (disenangi).

Ini pendapat yang masyhur dari Al-Imam Ahmad, Abu Hanifah, dan kebanyakan ulama ahlul hadits. Ini pula pendapat yang kami pilih.

Pendapat ini juga dipegangi oleh orang yang berpendapat boleh membacanya ataupun tidak karena berkeyakinan bahwa kedua hal tersebut adalah qira’ah/bacaan Al-Qur’an yang diperkenankan.

Apakah Basmalah Dibaca Jahr atau Sirr?

Dalam hal ini juga ada perbedaan pendapat:

1. Disunnahkan membacanya jahr.

Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan ulama lain.

2. Disunnahkan membacanya secara sirr.

Ini merupakan pendapat jumhur ulama ahlul hadits dan ahli ra’yu, serta pendapat mayoritas fuqaha di dunia.

3. Seseorang bisa memilih secara jahr atau sirr.

Pendapat ini diriwayatkan dari Al-Imam Ishaq bin Rahawaih. Ini juga pendapat Al-Imam Ibnu Hazm dan lainnya. (Majmu’ Fatawa, 22/435-437)

Kami (penulis) dalam hal ini berpegang dengan pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa basmalah dibaca dengan sirr. Wallahu a’lam bish-shawab.

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Yang diamalkan oleh mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam -di antara mereka Abu Bakr, Umar, Utsman, dan selainnya radhiyallahu ‘anhum- dan ulama setelah mereka dari kalangan tabi’in, serta pendapat yang dipegang Sufyan ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad, dan Ishaq, bahwasanya ucapan basmalah tidak dijahrkan. Mereka mengatakan, orang yang shalat mengucapkannya dengan perlahan, cukup didengarnya sendiri.” (Sunan At-Tirmidzi, 1/155)

Guru besar kami, Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muqbil ibnu Hadi al-Wadi’i rahimahullah, dalam kitab beliau, Al-Jami’us Shahih mimma Laisa fish Shahihain (97/2), menyatakan bahwa riwayat hadits-hadits yang menyebutkan basmalah dibaca sirr itu lebih shahih/kuat daripada riwayat yang menyebutkan bacaan basmalah secara jahr.

Adapun Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dan pengikut mazhabnya, juga -sebelum mereka- beberapa sahabat, di antaranya Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Ibnuz Zubair radhiyallahu ‘anhum, serta kalangan tabi’in, berpendapat bahwa bacaan basmalah dijahrkan. (Sunan At-Tirmidzi, 1/155)

Bolehnya Membaca Basmalah Secara Jahr dalam Keadaan Tertentu Karena Maslahat

Samahatusy Syaikh Al-Imam Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Riwayat yang menyebutkan basmalah dibaca dengan jahr dibawa kepada (pemahaman) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjahrkan basmalah untuk mengajari orang yang shalat di belakang beliau (para makmum) apabila beliau membacanya (dalam shalat sebelum membaca Alhamdulillah…). Dengan pemahaman seperti ini, berkumpullah hadits-hadits shahih yang memperkuat apa yang ditunjukkan oleh hadits Anas radhiyallahu ‘anhu yaitu disyariatkannya membaca basmalah secara sirr.” (Ta’liq terhadap Fathul Bari, 2/296)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Terkadang disyariatkan membaca basmalah dengan jahr karena sebuah maslahat yang besar, seperti pengajaran imam terhadap makmum, atau menjahrkannya dengan ringan untuk melunakkan hati dan mempersatukan kalimat kaum muslimin yang dikhawatirkan mereka akan lari kalau diamalkan sesuatu yang lebih afdhal. Hal ini sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengurungkan keinginan untuk membangun kembali Baitullah sesuai dengan fondasi Ibrahim ‘alahis salam karena kaum Quraisy di Makkah pada waktu itu baru saja meninggalkan masa jahiliyah dan masuk Islam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhawatirkan mereka dan melihat maslahat yang lebih besar berkenaan dengan persatuan dan keutuhan hati-hati kaum muslimin. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pun lebih memilih hal tersebut daripad membangun Baitullah di atas fondasi Ibrahim ‘alaihi salam.

Pernah pula Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu shalat dengan sempurna empat rakaat di belakang Khalifah Utsman bin Affam radhiyallahu ‘anhu dalam keadaan mereka sedang safar. Orang-orang pun mengingkari Ibnu Mas’ud yang mengikuti perbuatan Utsman radhiyallahu ‘anhu, karena seharusnya dia shalat dua rakaat dengan mengqashar. Akan tetapi, beliau radhiyallahu ‘anhu menjawab dan menyatakan, “Perselisihan itu jelek.”

Oleh karena itu, para imam, seperti Al-Imam Ahmad dan lainnya, membolehkan berpindah dari yang afdhal kepada yang tidak afdhal, seperti menjahrkan basmalah dalam suatu keadaan, menyambung shalat witir, atau yang lainnya, untuk menjaga persatuan kaum mukminin, mengajari mereka As-Sunnah, dan yang semisalnya.” (Majmu’ Fatawa, 22/437-438)

Wallahu a’lam bish-shawab.

0 komentar:

Posting Komentar