MEMUKUL ANAK; dalam pendidikan islam (Bag 1)

Rasulullah saw bersabda “Tidaklah suatu keluarga diberi kelembutan melainkan akan memberi manfaat pada mereka. Dan tidaklah sebaliknya melainkan akan memberi mudharat pada mereka”.(Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dengan sanad sahih.)
Imam al-Ghazali rahiimahullaah  berkata “Anak kecil apabila dilalaikan pada awal pertumbuhannya, biasanya dia akan tumbuh dengan memiliki akhlak yang buruk: suka berdusta, pendengki, suka mencuri, mengadu domba, suka mencampuri urusan orang lain dan suka menipu. Semua itu bisa dihindari dengan pendidikan yang baik.”

Pendidikan yang keras dan kasar akan menghilangkan kelapangan jiwa, melenyapkan semangat, menyebabkan kemalasan, mendorong untuk berdusta karena takut keras dan kasar tersebut dan mengajari untuk berlaku licik. Hingga hal ini menjadi kebiasaan dan akhlaknya, maka rusaklah nilai kemanusiaannya. (Ibnu Khaldun dalam Mukaddimahnya)
Termasuk konsep pendidikan yang terbaik adalah apa yang disampaikan oleh Khalifah Harun ar Rasyid kepada pendidik anaknya. Khalaf al Ahmar berkata: Ar Rasyid mengirimkan utusan kepadaku tentang pendidikan anaknya Muhammad al Amin.
“Wahai Ahmar, sesungguhnya Amirul Mukminin telah menyerahkan kepadamu titian jiwanya dan buah hatinya. Maka, bentangkan tanganmu untuknya selapang-lapangnya dan kepadamu dia wajib taat, maka jadikanlah dirimu untuknya sesuai yang diinginkan Amirul Mukminin. Bacakan untuknya al Quran, ajarkan sejarah, untaikan syair-syair dan ajarkan sunnah. Buatlah ia mampu mengetahui posisi pembicaraan dan permualannya. Laranglah ia dari tertawa kecuali pada waktunya. Rengkuhlah ia untuk mengagungkan masyayikh Bani Hasyim jika mereka datang kepadanya dan meninggikan majlis para pemimpin jika mereka datang ke majlisnya. Jangan sampai ada waktu yang berlalu padamu kecuali kamu telah memberikan faedah baginya tanpa harus membuatnya sedih yang akan mematikan otaknya. Jangan menjauh di waktu lapangnya, sehingga dia merasakan manisnya waktu kosong dan membuatnya terbiasa dengannya. Luruskan ia semampumu dengan cara mendekat dan lembut. Jika dengan dua cara itu dia tetap tidak baik maka gunakan cara yang keras.”(Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya)
Jika seorang anak ada yang mendampinginya, menunjukkan kewajibannya dengan cara hikmah dan nasehat yang baik, mendekatkannya selalu dengan amal, maka tidak diperlukan hukuman keras. (M. Athiyyah Al Ibrasyi dalam At Tarbiyyah Al Islamiyyah sebagaimana dinukil Jamal Abddurrahman dalam Athfalul Muslimin Kaifa Robbahumun Nabiyyil Amin)
Pendidikan hari ini benar-benar sedang kebingungan dalam menemukan konsepnya dan seringkali hanya merupakan antitesa dari keadaan atau konsep pendidikan sebelumnya. Setelah sebelumnya dunia barat tenggelam di abad pertengahan dalam kegelapan, di mana memperlakukan anak-anak seperti binatang dan budak, dengan cara yang kasar. Maka sebenarnya mereka sedang memprotes masa lalu mereka sendiri. Akhirnya bermunculan konsep pendidikan yang terkesan lembut dan terlihat sangat bijak.
Tapi kita seorang muslim. Muslimin tidak punya masa lalu kelam dalam pendidikan anak. Konsep Islam tak pernah berubah dan berganti karena zaman dan keadaan. Lihatlah dua tokoh di atas yang berbicara tentang konsep pendidikan Islam. Dua tokoh yang terpaut 7 abad (Ibnu Khaldun abad 8 H dan M. Athiyyah adalah ilmuwan abad ini), memberikan kesimpulan yang sama
Masalahnya ada pada kita. Kitalah yang berubah dan berganti, karena pergeseran keyakinan. Akhirnya hasil pendidikannya pun bergeser dan berganti. Sangat jauh berbeda dengan hasil pendidikan Islam di masa kebesarannya. Jauh panggang dari api. DR. Khalid Ahmad Asy Syantut berkata dalam Tarbiyatul Athfal fil Hadits Asy Syarif,“Di lingkungan pendidikan barat dan para pengikutnya di dunia Arab dan Islam tersebar pemahaman bahwa pukulan bukan merupakan sarana pendidikan. Tetapi merupakan sarana pendidikan kuno yang telah gagal. Tidak dipakai kecuali oleh guru yang gagal, keras, kasar, menakuti siswa dan membuat mereka tidak mau bersekolah. Untuk itulah, keluar keputusan kementrian pendidikan di berbagai negara, larangan menggunakan metode ini dan mengancam guru yang memakainya akan dijatuhi hukuman yang berat.”
Pada abad pertengahan dan abad kejatuhan, pukulan ini diterapkan dengan cara yang tidak tepat dan berlebihan. Hingga wajah para guru menakutkan bagi anak-anak. Maka aturan pendidikan hari ini datang sebagai antitesa zaman itu.

Pukulan dalam Al Quran adalah sarana pendidikan
Pendidikan Islam dibangun di atas kelembutan, hikmah, nasehat baik dan jika harus diskusi menggunakan cara yang baik. Sebagaimana ayat, “serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik...” (QS. 16:125)
Bahkan Ummul Mukminin Aisyah r.a. pernah menyampaikan,
Rasulullah saw sama sekali tidak pernah memukul apapun dengan tangannya, tidak juga perempuan dan pembantu, kecuali sedang berjihad fi sabilillah. Beliau juga tidak pernah membalas orang yang mengejeknya, kecuali jika ada aturan Allah ta’ala yang dilanggar, maka beliau membalas karena Allah ta’ala.” (HR. Ibnu Hibban, Abu Ya’la dan Ibnu Asakir, dishahihkan oleh Al Albani)
Hadits tersebut shahih dan harus dijadikan landasan dalam hidup kita. Tetapi mari kita hentikan kebiasaan menyimpulkan dan mengambil keputusan hukum dengan hanya melihat satu atau sebagian dalil. Karena umat ini akan tergiring dalam kesimpulan yang bisa menyesatkan.
DR. Said bin Ali bin Wahf Al Qohthoni dalam Al Hadyu An Nabawi fi Tarbiyatil Aulad membimbing kita, “Tapi jika kelembutan dan kasih sayang tidak lagi bermanfaat, maka pendidikan yang hikmah adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya dengan tepat dan profesional tanpa menambahi dan mengurangi. Seorang pendidik seperti dokter dalam mengobati penyakit dan pasien. Di antara penyakit ada yang memerlukan perlindungan di mana pasien dilarang memakan makanan tertentu. Di antara penyakit ada yang memerlukan obat dosis ringan. Tapi ada penyakit yang memerlukan pengobatan kay dengan api. Bahkan ada yang memerlukan proses operasi bagi si pasien jika tidak ada lagi pengobatan yang lainnya. Maka hal itu digunakan saat diperlukan. Dengan mematuhi persyaratan dan kaidah-kaidah syariat. Dan dalil dari Al Quran ataupun Sunnah mengizinkan ta’dib dengan kekuatan saat diperlukan.”
Bahkan DR. Said bin Ali mencantumkan 32 dalil dari Al Quran dan Sunnah yang menjelaskan secara umum dan khusus tentang hukuman dalam pendidikan.
Semua ini untuk menunjukkan dengan sangat gamblang, terang dan tidak meragukan bahwa Islam mengizinkan hukuman dalam pendidikan!
Hukuman bukanlah pembalasan dendam kepada anak. Tujuan sebenarnya adalah pendidikan dan merupakan salah satu metode pendidikan. Ibnu Jazzar al-Qairuwani mengetengahkan tentang pentingnya menghukum anak. Dia katakan, “Anak-anak sangat mudah dipimpin dan sangat gampang menerima. Apabila ada orang yang mengatakan seperti ini: ‘Kita dapat menemukan bahwa di antara anak-anak ada yang dapat menerima pengajaran, dan ada juga yang tidak menerima pengajaran. Demikian juga kita dapat melihat ada anak yang sangat pemalu, ada juga yang tidak malu-malu. Ada diantara anak-anak yang sangat giat belajar, ada juga yang malas dan tidak suka belajar. Ada juga anak yang apabila dipuji, dia akan giat belajar. Ada juga yang baru mau belejar setelah dihardik oleh gurunya. Ada juga yang baru mau belajar setelah dipukul. Demikianlah, kita temukan banyak perbedaan pada dunia anak antara suka dan tidak suka belajar. Terkadang kita juga melihat ada anak yang suka berbohong, ada yang suka berkata jujur. Adanya banyak perbedaan pada diri anak kita diperintahkan untuk mendidik dan mengajar anak kita di masa masih kecil. Karena, mereka tidak memiliki keinginan yang memalingkang mereka dari pemikiran yang baik dan perilaku yang terpuji.

Efektif dalam Mengoreksi Kesalahan Anak
            Tidak diragukan lagi bahwa menemukan dan mencabut akar kesalahan diangggap sebagai suatu keberhasilan yang luar biasa dalam aktivitas pendidikan. Apabila kita perhatikan inti dari setiap kesalahan yang dilakukan kita temukan bahwa intinya bersandar pada tiga hal:
a.    Kesalahan dalam pemahaman, yaitu si anak tidak memiliki pemahaman yang benar tentang sesuatu, sehingga dia melakukan kesalahan pada sesuatu tersebut.
b.    Kesalahan dalam aplikasi, yaitu si anak tidak mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik dari jari-jemarinya tidak terlatih untuk melakukan sesuatu pekerjaan sehinggga dia melakukan kesalahan.
c.    Kesalahan terletak pada diri anak itu sendiri yang sengaja melakukan kesalahan atau sianak termasuk yang memiliki jiwa pemberontak. Oleh sebab itu mencari inti kesalahan yang dilakukan membant memudahkan koreksinya.

1.    Mengoreksi Kesalahan Pemahaman
Seorang anak sama halnya dengan manusia lainnya yang ketidaktahuannya lebih banyak. Apabila dia memahami bagaimana melakukan suatu pekerjaan, tentu dia akan melakukannnya dengan baik. Dan tahap mengajari seorang anak untuk dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah adalah langkah pertama dalam meluruskan pemahamannya.

2.    Mengoreksi Kesalahan dengan Praktik Langsung
Mayoritas yang dituntut kepada anak untuk mengerjakannya adalah hal-hal yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya atau belum pernah melihat orang lain melakukannya. Oleh karena itu, dia tidak mengetahuinya. Apabila dia diminta untuk mengerjakan, kemungkinan besar dia akan melakukan kesalahan, sehingga perlu adanya koreksi. Apabila atas kesalahan ini dia dihukum, maka itu adalah kezaliman.
Di saat Rasulullah saw menemukan keadaan seperti ini, beliau memberikan pemahaman kepada si anak dengan praktik secara langsung. Beliau menyingsingkan lengan baju dan memperlihatkan kepada si anak bagaimana melakukan pekerjaan itu dengan benar.



Kaidah-Kaidah Dalam Hukuman.... (bersambung ke bagian II)

0 komentar:

Posting Komentar