Rasulullah saw bersabda “Tidaklah suatu
keluarga diberi kelembutan melainkan akan memberi manfaat pada mereka. Dan
tidaklah sebaliknya melainkan akan memberi mudharat pada mereka”.(Diriwayatkan
oleh ath-Thabrani dengan sanad sahih.)
Imam al-Ghazali rahiimahullaah berkata “Anak kecil apabila dilalaikan
pada awal pertumbuhannya, biasanya dia akan tumbuh dengan memiliki akhlak yang
buruk: suka berdusta, pendengki, suka mencuri, mengadu domba, suka mencampuri
urusan orang lain dan suka menipu. Semua itu bisa dihindari dengan pendidikan
yang baik.”
Pendidikan yang keras dan kasar akan
menghilangkan kelapangan jiwa, melenyapkan semangat, menyebabkan kemalasan,
mendorong untuk berdusta karena takut keras dan kasar tersebut dan mengajari
untuk berlaku licik. Hingga hal ini menjadi kebiasaan dan akhlaknya, maka
rusaklah nilai kemanusiaannya. (Ibnu Khaldun dalam Mukaddimahnya)
Termasuk konsep pendidikan yang terbaik adalah
apa yang disampaikan oleh Khalifah Harun ar Rasyid kepada pendidik anaknya.
Khalaf al Ahmar berkata: Ar Rasyid mengirimkan utusan kepadaku tentang
pendidikan anaknya Muhammad al Amin.
“Wahai Ahmar, sesungguhnya Amirul Mukminin
telah menyerahkan kepadamu titian jiwanya dan buah hatinya. Maka, bentangkan
tanganmu untuknya selapang-lapangnya dan kepadamu dia wajib taat, maka
jadikanlah dirimu untuknya sesuai yang diinginkan Amirul Mukminin. Bacakan
untuknya al Quran, ajarkan sejarah, untaikan syair-syair dan ajarkan sunnah.
Buatlah ia mampu mengetahui posisi pembicaraan dan permualannya. Laranglah ia
dari tertawa kecuali pada waktunya. Rengkuhlah ia untuk mengagungkan masyayikh
Bani Hasyim jika mereka datang kepadanya dan meninggikan majlis para pemimpin
jika mereka datang ke majlisnya. Jangan sampai ada waktu yang berlalu padamu
kecuali kamu telah memberikan faedah baginya tanpa harus membuatnya sedih yang
akan mematikan otaknya. Jangan menjauh di waktu lapangnya, sehingga dia
merasakan manisnya waktu kosong dan membuatnya terbiasa dengannya. Luruskan ia
semampumu dengan cara mendekat dan lembut. Jika dengan dua cara itu dia tetap
tidak baik maka gunakan cara yang keras.”(Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya)
Jika seorang anak ada yang mendampinginya,
menunjukkan kewajibannya dengan cara hikmah dan nasehat yang baik, mendekatkannya
selalu dengan amal, maka tidak diperlukan hukuman keras. (M. Athiyyah Al
Ibrasyi dalam At Tarbiyyah Al Islamiyyah sebagaimana dinukil Jamal Abddurrahman
dalam Athfalul Muslimin Kaifa Robbahumun Nabiyyil Amin)
Pendidikan hari ini benar-benar sedang
kebingungan dalam menemukan konsepnya dan seringkali hanya merupakan antitesa
dari keadaan atau konsep pendidikan sebelumnya. Setelah sebelumnya dunia barat
tenggelam di abad pertengahan dalam kegelapan, di mana memperlakukan anak-anak
seperti binatang dan budak, dengan cara yang kasar. Maka sebenarnya mereka
sedang memprotes masa lalu mereka sendiri. Akhirnya bermunculan konsep
pendidikan yang terkesan lembut dan terlihat sangat bijak.
Tapi kita seorang muslim. Muslimin tidak punya
masa lalu kelam dalam pendidikan anak. Konsep Islam tak pernah berubah dan
berganti karena zaman dan keadaan. Lihatlah dua tokoh di atas yang berbicara
tentang konsep pendidikan Islam. Dua tokoh yang terpaut 7 abad (Ibnu Khaldun
abad 8 H dan M. Athiyyah adalah ilmuwan abad ini), memberikan kesimpulan yang
sama
Masalahnya ada pada kita. Kitalah yang berubah
dan berganti, karena pergeseran keyakinan. Akhirnya hasil pendidikannya pun
bergeser dan berganti. Sangat jauh berbeda dengan hasil pendidikan Islam di
masa kebesarannya. Jauh panggang dari api. DR. Khalid Ahmad Asy Syantut berkata
dalam Tarbiyatul Athfal fil Hadits Asy Syarif,“Di lingkungan pendidikan
barat dan para pengikutnya di dunia Arab dan Islam tersebar pemahaman bahwa
pukulan bukan merupakan sarana pendidikan. Tetapi merupakan sarana pendidikan
kuno yang telah gagal. Tidak dipakai kecuali oleh guru yang gagal, keras,
kasar, menakuti siswa dan membuat mereka tidak mau bersekolah. Untuk itulah,
keluar keputusan kementrian pendidikan di berbagai negara, larangan menggunakan
metode ini dan mengancam guru yang memakainya akan dijatuhi hukuman yang
berat.”
Pada abad pertengahan dan abad kejatuhan,
pukulan ini diterapkan dengan cara yang tidak tepat dan berlebihan. Hingga
wajah para guru menakutkan bagi anak-anak. Maka aturan pendidikan hari ini
datang sebagai antitesa zaman itu.
Pukulan dalam
Al Quran adalah sarana pendidikan
Pendidikan Islam dibangun di atas kelembutan,
hikmah, nasehat baik dan jika harus diskusi menggunakan cara yang baik.
Sebagaimana ayat, “serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik...”
(QS. 16:125)
Bahkan Ummul Mukminin Aisyah r.a. pernah
menyampaikan,
“Rasulullah saw sama sekali tidak pernah memukul apapun dengan tangannya, tidak juga perempuan dan pembantu, kecuali sedang berjihad fi sabilillah. Beliau juga tidak pernah membalas orang yang mengejeknya, kecuali jika ada aturan Allah ta’ala yang dilanggar, maka beliau membalas karena Allah ta’ala.” (HR. Ibnu Hibban, Abu Ya’la dan Ibnu Asakir, dishahihkan oleh Al Albani)
“Rasulullah saw sama sekali tidak pernah memukul apapun dengan tangannya, tidak juga perempuan dan pembantu, kecuali sedang berjihad fi sabilillah. Beliau juga tidak pernah membalas orang yang mengejeknya, kecuali jika ada aturan Allah ta’ala yang dilanggar, maka beliau membalas karena Allah ta’ala.” (HR. Ibnu Hibban, Abu Ya’la dan Ibnu Asakir, dishahihkan oleh Al Albani)
Hadits tersebut shahih dan harus dijadikan
landasan dalam hidup kita. Tetapi mari kita hentikan kebiasaan menyimpulkan dan
mengambil keputusan hukum dengan hanya melihat satu atau sebagian dalil. Karena
umat ini akan tergiring dalam kesimpulan yang bisa menyesatkan.
DR. Said bin Ali bin Wahf Al Qohthoni dalam Al
Hadyu An Nabawi fi Tarbiyatil Aulad membimbing kita, “Tapi jika kelembutan
dan kasih sayang tidak lagi bermanfaat, maka pendidikan yang hikmah adalah
meletakkan sesuatu pada tempatnya dengan tepat dan profesional tanpa menambahi
dan mengurangi. Seorang pendidik seperti dokter dalam mengobati penyakit dan
pasien. Di antara penyakit ada yang memerlukan perlindungan di mana pasien
dilarang memakan makanan tertentu. Di antara penyakit ada yang memerlukan obat
dosis ringan. Tapi ada penyakit yang memerlukan pengobatan kay dengan api.
Bahkan ada yang memerlukan proses operasi bagi si pasien jika tidak ada lagi
pengobatan yang lainnya. Maka hal itu digunakan saat diperlukan. Dengan
mematuhi persyaratan dan kaidah-kaidah syariat. Dan dalil dari Al Quran ataupun
Sunnah mengizinkan ta’dib dengan kekuatan saat diperlukan.”
Bahkan DR. Said bin Ali mencantumkan 32 dalil
dari Al Quran dan Sunnah yang menjelaskan secara umum dan khusus tentang
hukuman dalam pendidikan.
Semua ini untuk menunjukkan dengan sangat gamblang, terang dan tidak meragukan bahwa Islam mengizinkan hukuman dalam pendidikan!
Semua ini untuk menunjukkan dengan sangat gamblang, terang dan tidak meragukan bahwa Islam mengizinkan hukuman dalam pendidikan!
Hukuman bukanlah pembalasan dendam kepada anak.
Tujuan sebenarnya adalah pendidikan dan merupakan salah satu metode pendidikan.
Ibnu Jazzar al-Qairuwani mengetengahkan tentang pentingnya menghukum anak. Dia
katakan, “Anak-anak sangat mudah dipimpin dan sangat gampang menerima. Apabila
ada orang yang mengatakan seperti ini: ‘Kita dapat menemukan bahwa di antara
anak-anak ada yang dapat menerima pengajaran, dan ada juga yang tidak menerima
pengajaran. Demikian juga kita dapat melihat ada anak yang sangat pemalu, ada
juga yang tidak malu-malu. Ada diantara anak-anak yang sangat giat belajar, ada
juga yang malas dan tidak suka belajar. Ada juga anak yang apabila dipuji, dia
akan giat belajar. Ada juga yang baru mau belejar setelah dihardik oleh
gurunya. Ada juga yang baru mau belajar setelah dipukul. Demikianlah, kita
temukan banyak perbedaan pada dunia anak antara suka dan tidak suka belajar.
Terkadang kita juga melihat ada anak yang suka berbohong, ada yang suka berkata
jujur. Adanya banyak perbedaan pada diri anak kita diperintahkan untuk mendidik
dan mengajar anak kita di masa masih kecil. Karena, mereka tidak memiliki
keinginan yang memalingkang mereka dari pemikiran yang baik dan perilaku yang
terpuji.
Efektif dalam Mengoreksi Kesalahan Anak
Tidak
diragukan lagi bahwa menemukan dan mencabut akar kesalahan diangggap sebagai
suatu keberhasilan yang luar biasa dalam aktivitas pendidikan. Apabila kita
perhatikan inti dari setiap kesalahan yang dilakukan kita temukan bahwa intinya
bersandar pada tiga hal:
a.
Kesalahan dalam pemahaman, yaitu si anak tidak
memiliki pemahaman yang benar tentang sesuatu, sehingga dia melakukan kesalahan
pada sesuatu tersebut.
b.
Kesalahan dalam aplikasi, yaitu si anak tidak
mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik dari jari-jemarinya tidak terlatih
untuk melakukan sesuatu pekerjaan sehinggga dia melakukan kesalahan.
c.
Kesalahan terletak pada diri anak itu sendiri
yang sengaja melakukan kesalahan atau sianak termasuk yang memiliki jiwa
pemberontak. Oleh sebab itu mencari inti kesalahan yang dilakukan membant
memudahkan koreksinya.
1.
Mengoreksi Kesalahan Pemahaman
Seorang
anak sama halnya dengan manusia lainnya yang ketidaktahuannya lebih banyak.
Apabila dia memahami bagaimana melakukan suatu pekerjaan, tentu dia akan
melakukannnya dengan baik. Dan tahap mengajari seorang anak untuk dapat
membedakan mana yang benar dan mana yang salah adalah langkah pertama dalam
meluruskan pemahamannya.
2.
Mengoreksi Kesalahan dengan Praktik Langsung
Mayoritas
yang dituntut kepada anak untuk mengerjakannya adalah hal-hal yang tidak pernah
dia lakukan sebelumnya atau belum pernah melihat orang lain melakukannya. Oleh
karena itu, dia tidak mengetahuinya. Apabila dia diminta untuk mengerjakan,
kemungkinan besar dia akan melakukan kesalahan, sehingga perlu adanya koreksi.
Apabila atas kesalahan ini dia dihukum, maka itu adalah kezaliman.
Di
saat Rasulullah saw menemukan keadaan seperti ini, beliau memberikan pemahaman
kepada si anak dengan praktik secara langsung. Beliau menyingsingkan lengan
baju dan memperlihatkan kepada si anak bagaimana melakukan pekerjaan itu dengan
benar.
Kaidah-Kaidah Dalam Hukuman.... (bersambung ke bagian II)
0 komentar:
Posting Komentar