Ketika Imam Syafi’i Menyetorkan Hafalan Qurannya

Ketika Imam Syafi’i Menyetorkan Hafalan Qurannya

Sekolah Penghafal Al Qur'an - IMAM Asy-Syafi’i adalah teladan ideal bagi setiap penuntut ilmu dan pencari kebenaran. Beliau seorang ulama’ besar yang pandangan madzhab fiqihnya dipakai mayoritas muslimin di negeri ini. Lahir dengan nama Muhammad dari kedua orang tua yang amat shalih, di Gaza Palestina. Bapak beliau bernama Idris, sedangkan ibunya bernama Fatimah. Di usia yang amat belia, ayah beliau wafat, sehingga sang ibu mengasuh Syafi’i kecil seorang diri. Ibunya yang memiliki nasab langsung kepada Imam ‘Ali bin Abi Thalib dari jalur Husain ra ini membawa Asy-Syafi’i ke Makkah agar bisa berkumpul bersama keluarga besarnya.

Perhatian serius diberikan oleh sang ibu untuk pendidikan Syafi’i. Disaat bermainnya ibu Asy-Syafi’i selalu membacakan Al-Qur’an di dekatnya agar anaknya dekat dengan Al-Qur’an. Dikisahkan sang ibu biasa mengkhatamkan Al-Qur’an dalam waktu beberapa hari saja, kemudian mengulangnya lagi dari awal. Wajar Syafi’i telah hafal keseluruhan Al-Qur’an di usia 7 tahun. Ibu Imam Syafi’i tidak mau membukakan pintu rumah jika Syafi’i pulang tanpa membawa ilmu dari majelis gurunya. Tidak lama setelah Syafi’i menghafalkan Qur’an, beliau juga menuntaskan hafalan Al-Muwatho’ karangan Imam Malik bin Anas, kitab fiqih yang berasal dari hadits-hadits Nabi saw.

Setelah itu Syafi’i memulai pengembaraannya untuk mencari ilmu dengan pergi ke Madinah. Ia belajar intensif kepada guru istimewanya, Imam Malik. Demikian pula sang guru pun begitu mengistimewakan Syafi’i karena kecerdasan dan kekuatan ingatannya. Di Madinah ini Syafi’i hidup prihatin. Di saat teman-temannya mencatat segala sesuatu dengan kertas dan papan, Syafi’i hanya mampu memunguti tulang dan dedaunan sebagai alas catatannya. Ketika melihat bahwa kamar beliau penuh dengan benda-benda tersebut, Imam Syafi’i memutuskan untuk membakar dan membuangnya semuanya, dengan beliau hafalkan terlebih dahulu isi semua catatan tersebut.

Di usia 13 tahun Syafi’i telah menjadi pengajar tetap dalam sebuah halqah di Masjid Nabawi. Pelajaran dan fatwa beliau selalu ditunggu, padahal di usia itu beliau belum baligh. Kisah yang amat masyhur tatkala beliau meminta diambilkan minum di tengah-tengah pelajaran di siang hari bulan Ramadhan. Saat ditanya, “Wahai Imam, lupakah kamu bahwa ini bulan Ramadhan”. Ia menjawab ringan “Saya belum wajib puasa”. Kisah masyhur lain adalah saat beliau dalam perjalanan ingin menyetorkan hafalan kepada gurunya, Syafi’i muda tak sengaja melihat perempuan yang jilbabnya tersingkap sehingga terlihatlah betisnya. Syafi’i kehilangan hafalan kitab itu.

Pernah suatu kali Syafi’i mengeluhkan kepada gurunya tentang jeleknya progress hafalannya. Guru tersebut bernama Waki’. Maka sang guru memberi petunjuk kepada Asy-Syafi’i untuk meninggalkan kemaksiatan. Sang guru berkata, “Sesungguhnya ilmu itu adalah cahaya Allah, dan cahaya Allah takkan bercampur dengan jasad yang penuh dengan maksiat.” Masya Allah.

Petualangan beliau tak berhenti disitu. Syafi’i terus mengelana ke berbagai negeri untuk mencari pengetahuan lain yang belum beliau dapatkan. Ia pergi ke Yaman, Persia, dan Irak. Berguru dan berdiskusi dengan banyak ulama’. Di Irak ia bertemu dengan murid-murid Imam Abu Hanifah (pendiri Madzhab Fiqih Hanafiyah) yang dikenal sebagai ahli logika, dan pandangan fiqihnya cukup dipandang moderat. Ia juga berguru dengan Imam Ahmad bin Hanbal (pendiri Madzhab Fiqih Hambali) bahkan sempat beberapa hari menginap di rumahnya.

Keluasan pengetahuan Imam Syafi’i menjadikan diri beliau sangat disegani ulama-ulama di banyak negeri. Imam Syafi’i mendirikan madzhab ushul fiqih yang canggih, dan bisa dikatakan perpaduan dari pandangan guru-gurun yang berasal dari berbagai madzhab.

Setelah dari Baghdad Irak, Asy-Syafi’i kembali ke Madinah dan tinggal bersama Imam Malik selama 6 tahun hingga gurunya ini wafat. Beliau berpindah lagi ke Mesir untuk mencari tahu perihal pandangan ulama terkenal disana, Imam Laits. Namun sayang, setiba di Mesir, Imam Laits telah wafat pula, sedangkan tidak ada satu catatanpun beliau tinggalkan kepada muridnya.

Di Mesir pula, setelah berjumpa dengan banyak pandangan-pandangan yang berbeda, Imam Syafi’i memutakhirkan beberapa pendapat-pendapat beliau dalam bidang ushul fiqih yang tertuang dalam Kitab Ar-Risalah yang beliau tulis semasa di Irak. Pandangan baru Imam Syafi’i ini dikenal dalam khazanah keilmuan Islam sebagai Al-Qoul Al-Jadid. Beliau menetap selama enam tahun, menjadi rujukan utama bagi muslimin disana hingga beliau meninggal.

Imam Syafi’i mengharumkan bumi dengan cahaya ilmunya. Seorang faqih yang namanya abadi, menerangi dunia, dikasihi penduduk langit dan bumi. Inilah sekelumit kisah pembelajar sekaligus guru sejati, Rohimahullahu ta’ala Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i. Semoga kita diberi kemudahan dalam meneladani jejak-jejak beliau. Sumber

0 komentar:

Posting Komentar