Sekolah Penghafal Al Qur'an - Terdapat sebuah hadits yang sangat terkenal di kalangan pakar fiqih dan ushul fiqih. Dapat dipastikan hampir semua kitab dua disilpin tersebut memuat hadits ini. Hadits tersebut adalah hadits Mu’adz bin Jabal –radhiyallahu ‘anhu- ketika ia diutus Rasulullah ﷺ ke negeri Yaman.
Beliau ﷺ bertanya pada Mu’adz, “Apabila kamu menghadapi suatu masalah, bagaimana kamu memutuskannya?”
Mu’adz menjawab, “Akan kuputuskan dengan apa yang terdapat dalam Kitab Allah.”
Rasulullah ﷺ bertanya, “Jika tidak terdapat dalam Kitab Allah?”
Mu’adz menjawab, “Dengan sunnah Rasulullah.”
Rasulullah ﷺ bersabda, “Jika tidak ada dalam sunnah Rasulullah?”
Mu’adz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan pendapatku tanpa berlebihan.”
Rasulullah ﷺ pun menepuk dada Mu’adz seraya besabda,
الحمد لله الذي وفق رسول رسول الله لما يرضي رسول الله
“Segala puji hanya bagi Allah yang telah membuat sepakat utusan Rasulullah yang menjadikan Rasulullah rela.”
Hadits tersebut di atas antara lain diriwayatkan oleh Abu Dawud Ath-Thayalisi dalam Al-Musnad (I/286), Ahmad dalam Al-Musnad (V/230, 232), Abu Dawud dalam Sunan-nya (II/116), At-Tirmidzi dalam Jami’-nya (II/175), dan lainnya dari berbagai jalur, dari Syu’bah, dari Al-‘Aun, dari Al-Harits bin ‘Amr –saudara Al-Mughirah bin Syu’bah-, dari beberapa murid Mu’adz bin Jabal, dari Mu’adz bin Jamal –radhiyallahu ‘anhu-.
Tentang derajat hadits di atas, sejumlah ulama pakar hadits telah menilainya sebagai hadits yang tidak valid. Syaikh Muhammad Nashiruddin bin Haji Nuh Al-Albani menilainya sebagai hadits munkar. Al-‘Uqaili dalam Adh-Dhu’afa berkata, “Al-Bukhari berkata, ‘Hadits tersebut tidak shahih dan tidak diketahui kecuai mursal”. Al-Albani berkata, “Saya katakan, Al-Bukhari telah menegaskan dalam At-Tarikh (II/I/275), ‘Tidak shahih dan tidak diketahui kecuali seperti ini. Mursal’. Saya katakan, maksudnya yang benar bahwa hadits tersebut dari murid-murid Mu’adz bin Jabal. Di dalamnya tidak ada Mu’adz”.
Di akhir pembahasan ini, Al-Albani mengatakan, “Ringkasnya, hadits ini tidak shahih sanadnya karena mursal dan kemajhulan perawinya, Al-Harits bin ‘Amr. Maka siapa yang memiliki ilmu terkait ilmu yang mulia ini dan nampaklah padanya, ambillah hal tersebut. Jika tidak, cukuplah baginya nama-nama para imam yang menegaskan kedhaifannya sehingga akan membuat keraguannya hangus dari hatinya. Ini dia kubawakan dan kudekatkan pada para pembaca yang budiman:
Beliau ﷺ bertanya pada Mu’adz, “Apabila kamu menghadapi suatu masalah, bagaimana kamu memutuskannya?”
Mu’adz menjawab, “Akan kuputuskan dengan apa yang terdapat dalam Kitab Allah.”
Rasulullah ﷺ bertanya, “Jika tidak terdapat dalam Kitab Allah?”
Mu’adz menjawab, “Dengan sunnah Rasulullah.”
Rasulullah ﷺ bersabda, “Jika tidak ada dalam sunnah Rasulullah?”
Mu’adz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan pendapatku tanpa berlebihan.”
Rasulullah ﷺ pun menepuk dada Mu’adz seraya besabda,
الحمد لله الذي وفق رسول رسول الله لما يرضي رسول الله
“Segala puji hanya bagi Allah yang telah membuat sepakat utusan Rasulullah yang menjadikan Rasulullah rela.”
Hadits tersebut di atas antara lain diriwayatkan oleh Abu Dawud Ath-Thayalisi dalam Al-Musnad (I/286), Ahmad dalam Al-Musnad (V/230, 232), Abu Dawud dalam Sunan-nya (II/116), At-Tirmidzi dalam Jami’-nya (II/175), dan lainnya dari berbagai jalur, dari Syu’bah, dari Al-‘Aun, dari Al-Harits bin ‘Amr –saudara Al-Mughirah bin Syu’bah-, dari beberapa murid Mu’adz bin Jabal, dari Mu’adz bin Jamal –radhiyallahu ‘anhu-.
Tentang derajat hadits di atas, sejumlah ulama pakar hadits telah menilainya sebagai hadits yang tidak valid. Syaikh Muhammad Nashiruddin bin Haji Nuh Al-Albani menilainya sebagai hadits munkar. Al-‘Uqaili dalam Adh-Dhu’afa berkata, “Al-Bukhari berkata, ‘Hadits tersebut tidak shahih dan tidak diketahui kecuai mursal”. Al-Albani berkata, “Saya katakan, Al-Bukhari telah menegaskan dalam At-Tarikh (II/I/275), ‘Tidak shahih dan tidak diketahui kecuali seperti ini. Mursal’. Saya katakan, maksudnya yang benar bahwa hadits tersebut dari murid-murid Mu’adz bin Jabal. Di dalamnya tidak ada Mu’adz”.
Di akhir pembahasan ini, Al-Albani mengatakan, “Ringkasnya, hadits ini tidak shahih sanadnya karena mursal dan kemajhulan perawinya, Al-Harits bin ‘Amr. Maka siapa yang memiliki ilmu terkait ilmu yang mulia ini dan nampaklah padanya, ambillah hal tersebut. Jika tidak, cukuplah baginya nama-nama para imam yang menegaskan kedhaifannya sehingga akan membuat keraguannya hangus dari hatinya. Ini dia kubawakan dan kudekatkan pada para pembaca yang budiman:
- Al-Bukhari
- At-Tirmidzi
- Al-‘Uqaili
- Ad-Daraquthni
- Ibnu Hazm
- Ibnu Thahir
- Ibnul Jauzi
- Adz-Dzahabi
- As-Subki
- Ibnu Hajar
Mereka semua dan selainnya yang tidak kami sebutkan, telah menilai hadits ini dha’if. Orang yang mengikuti mereka tidak akan tersesat, dengan seizin Allah. Bagaimana tidak sementara mereka adalah orang yang paling pantas menyandang ungkapan yang ma’tsur, ‘Mereka adalah kaum yang tidak akan sengsara orang yang bergaul dengan mereka’”. Pembahasan Al-Albani tentang hadits Mu’adz ini bisa dapat dibaca secara lengkan dalam Silsilah Al-Ahadits wa Al-Maudhu’ah (II/273-286).
Setelah membawakan hadits di atas, Abu ‘Isa At-Tirmidzi kemudian mengatakan, “Kami tidak mengetahui hadits ini kecuali melalui jalur ini. Menurutku, sanadnya tidak bersambung”.
Sementara itu Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi mengatakan dalam Al-Muhalla Syarh Al-Mujalla (I/62), “Hadits Mu’adz yang tersebut di dalamnya, ‘Aku akan berijtihad dengan pendapatku tanpa berlebihan,’ tidak shahih. Alasannya karena tidak ada seorang pun yang meriwayatkannya kecuali Al-Harits bin ‘Amr padahal dia itu majhul (baca: tidak diketahui identitasnya). Kami tidak mengetahui siapa dia, dari beberapa orang penduduk Himsh yang tidak disebutkan namanya, dari Mu’adz.”
Di samping derajat hadits di atas tidak benar, kandungannya pun tidak dapat dibenarkan. Bahkan bertentangan dengan sejumlah teks Al-Quran dan As-Sunnah yang lebih valid.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menjelaskan dalam Manzilah As-Sunnah fi Al-Islam (hlm. 22), bahwa hadits Mu’adz ini menggariskan motode tiga langkah untuk hakim dalam memutuskan suatu hukum. Tidak boleh mencari suatu hukum menurut pendapat sendiri kecuali jika tidak dijumpai dalam As-Sunnah, tidak boleh mencari hukum dalam As-Sunnah kecuali jika tidak didapati dalam Al-Quran.
Apabila dipandang menurut akal metode ini benar sesuai pendapat seluruh ulama. Demikian pula mereka mengatakan, “Jika ada teks wahyu, maka gugurlah pendapat akal.”
Akan tetapi jika ditilik menurut As-Sunnah, maka metode ini tidak dapat dibenarkan. Alasannya karena As-Sunnah merupakan pemutus dan penjelas Al-Quran. Oleh karena itu seorang hakim wajib mencari hukum dalam As-Sunnah meskipun ia mengira terdapat dalam Al-Quran.
As-Sunnah bersma Al-Quran bukan seperti akal bersama As-Sunnah. Sekali-kali tidak! Bahkan wajib menganggap Al-Quran dan As-Sunnah sebagai satu kesatuan sumber hukum. Tidak ada perbedaan antara keduanya. Hal ini mengingat sabda Rasulullah ﷺ,
ألا إني أوتيت القرآن و مثله معه
“Ketahuilah, bahwa aku diberi Al-Quran dan semisalnya bersamanya.”
Maksud yang semisal Al-Quran adalah As-Sunnah. Juga sabda Rasulullah ﷺ,
لن يتفرقا حتي يردا علي الحوض
“Keduanya (baca: Al-Quran dan As-Sunnah) tidak akan pernah berpisah sampai datang padaku di telaga haudh.”
Dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa Al-Maudhu’ah (II/286), Al-Albani juga mengatakan, “Seorang muslim mana pun tidak akan berpendapat adanya perbedaan antara Al-Quran dan As-Sunnah. Bahkan yang wajib ialah memperhatikan apa yang ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Tidak membeda-bedakannya. Mengingat bahwa As-Sunnah merupakan penjelas keumuman Al-Quran, men-taqyid yang muthlaq, dan men-takhshih yang umum, sebagaimana yang telah diketahui.”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan dalam Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah (II/5), “Dan Sunnah merupakan sumber kedua dalam pensyariatan.” Selanjutnya beliau memperjelas, “Dan makna pernyataannya kami ‘sumber kedua’ adalah dalam hitungan, bukan tertib. Karena sejatinya kedudukannya, jika telah sah dari Nabi ﷺ, maka sama kedudukannya dengan Al Quran.”
Maka nyatalah bahwa Al-Quran dan As-Sunnah tidak ada bedanya sama sekali. Hanya saja dalam mengamalkan Al-Quran diperlukan pemahaman yang benar, sementara dalam As-Sunnah diperlukan penelitian kevalidatisannya kemudian pemahaman yang benar. Demikian keterangan yang disampaikan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah.
Jika ada orang yang masih bersikeras dan ngotot mempergunakan hadits Mu’adz di atas, ia akan menghadapi berbagai cobaan besar. Ambil contoh masalah Shalat. Di dalam Al-Quran, berapa kali Allah perintah shalat akan tetapi ada penjelasan lebih lanjut bagaimana tatacara mengerjakannya. Apakah kemudian hanya karena ada teks perintah dalam Al-Quran, tidak lantas perlu menghiraukan As-Sunnah?! Jika demikian, bagaimana cara mengerjakan shalat?!
Masih banyak contoh permasalahan lain yang jika hadits di atas diterapkan padanya akan dijumpai berbagai keganjilan yang nyata. Wallahua’lam.sumber
0 komentar:
Posting Komentar