Sepucuk Cita Sang Hafidz

Oleh: Dian Risqiani. Santri Rijalul Qur'an ******** “Nang, sudah latihan belum buat lomba besok? tanya Ibu sembari tersenyum. Aku membalasnya dengan senyum lugu, Belum, Bu. Hehe... Aku memang belum mempersiapkannya secara matang. Padahal Lomba tahfidz 30 Juz se-Jawa Tengah akan diadakan besok pagi. Ya sudah. Ayo sekarang latihan sama Ibu. Ibu simak, ya... kata Ibu antusias, lalu beliau membuka lembaran mushaf al-quran yang sedari tadi dipegannya.
Aku menunggu Ibu melantunkan ayat al-quran sembari menatap wajah beliau yang meneduhkan. Jarang sekali beliau mengenakan baju yang serba putih seperti saat ini, Ibu terlihat sangat cantik. Tak berapa lama, nampaknya Ibu telah menemukan ayat yang harus kulanjutkan. Lalu Ibu membacakan Q.S. Luqman: 13. Aku mendengarkannya dengan seksama. Kemudian aku melanjutkan ayat yang Ibu bacakan. Sebelum aku menyelesaikan Q.S. Luqman:14 hingga akhir, ada seseorang yang menepuk-nepuk pundakku dan sedikit menggoyang-goyang lenganku. Samar-samar aku mendengar suara yang tak asing bagiku, Mas Ahmad, bangun Mas. Kubuka mataku perlahan, Astaghfirullah, ternyata aku bermimpi. Aku melihat Ibu terbaring lemah di depanku dengan banyak selang yang terhubung pada tubuhnya, serta Nisa yang berdiri di sampingku. Mas Ahmad ngelindur, po? Wong lagi tidur tiba-tiba baca al-quran, tanya Nisa, adikku, yang tadi membangunkanku. Iya, dik, jawabku singkat. Kudekap tubuh Ibu dan kurebahkan kepalaku disampingnya. Kulantunkan Q.S. Luqman: 14 melanjutkan di mimpi tadi. Dadaku sedikit sesak, mataku terasa panas. Tak terasa ujung mataku basah. Segera aku menyekanya. Maafkan aku, Bu. Ini semua karena salahku. Aku kembali memejamkan mata, merenungi kejadian pagi tadi. Aku pulang ke rumah tanpa mengabari keluarga terlebih dahulu, aku sengaja ingin memberikan kejutan pada Ibu dan adikku. Ini adalah tahun ketiga aku nyantri di Sekolah Penghafal Al-quran Rijalul Quran di Karimun Jawa, Jepara. Semenjak lulus dari SMP IT, aku melanjutkan jenjang menengah atasku melalui jalur non-formal. Dua tahun selepas lulus tingkat menengah pertama, aku fokus menyelesaikan hafalan al-quranku. Dan alhamdulillah, bulan lalu aku telah diwisuda sebagai hafidz dari Rijalul Quran. Kepulanganku saat ini karena akan mengikuti lomba tahfidz di Semarang. Aku diizinkan pulang terlebih dahulu oleh pihak Pondok Pesantren, memohon doa restu keluarga dan sekaligus agar nanti bisa menempuh jarak yang lebih dekat menuju lokasi lomba. Ibu sangat senang mendengar kabar dariku. Mau dimasakin apa, Nang? pertanyaan yang sangat sering kudengar dari Ibu saat aku di rumah. Aku berpikir sejenak, Tumis daun singkong ya, Bu, kataku bernada manja. Tumis daun singkong adalah menu kesukaan Bapak sewaktu masih hidup. Dan aku juga menyukai masakan favorit Bapak, apa lagi jika Ibu yang memasak. Yo wis, berarti Ibu ke ladang dulu, metik daun singkong. Kamu istirahat dulu, ya Nang, jelas Ibu. Aku ikut ya, Bu, pintaku sambil beranjak dari tempat duduk dan mengambil karung kecil untuk wadah daun singkong nanti. “Ndak usah, Nang. Kamu istirahat saja, wong habis perjalanan jauh, kata Ibu sambil perlahan mengambil karung dari tanganku. “Ndak apa, Bu. Aku ndak capek. Aku ikut, ya, pintaku lagi memasang senyum termanis. Ibu membalas senyumku. Aku suka melihat senyum Ibu, meneduhkan. Istirahat saja, pinta Ibu sekali lagi. Kali ini Ibu mendudukkan ku dengan lembut, lalu segera keluar rumah meninggalkanku. Ibu, tidak mau merepotkan anaknya. Tak berapa lama setelah Ibu pergi, tiba-tiba adikku berlari terengah-engah menghampiriku, Mas Ahmad, Ibu.... Ibu, telunjuknya mengarah keluar rumah, mengisyaratkan ada sesuatu yang terjadi pada Ibu. Tanpa banyak berpikir, aku segera menghambur keluar menyusul Ibu. Aku begitu terkejut melihat Ibu tergeletak di jalan berlumur darah. Rupanya Ibu ditabrak saat akan menyeberang menuju ladang. Rumah kami memang dekat jalan raya namun berada agak jauh dari warga. Aku segera berlari membawa Ibu ke dalam rumah. Saat itu jalanan sangat sepi, dan aku tak sedikit pun melihat penabrak Ibu. Ia langsung kabur tak bertanggung jawab. Dik Nisa, segera panggil Pak Dhe Aris, kita bawa Ibu ke rumah sakit. Selang berapa menit, Pak Dhe ku datang membawa mobil pick-up. Karena memang itu yang beliau punya. Aku menggendong Ibu ke mobil. Nisa duduk di depan menemani Ibu dan aku di bagian belakang pick-up. Kami segera menuju rumah sakit terdekat. Sesampainya di rumah sakit Ibu segera mendapat penanganan dokter di ruang IGD. Kami menunggu dengan hati cemas. Dik Nisa terus menangis sesenggukan di pelukanku. Ya Allah, selamatkanlah Ibu. Setelah beberapa lama kami menunggu, dokter pun keluar dan menjelaskan kondisi Ibu. Ibu mengalami pendarahan dan luka yang cukup parah di bagian kepala, sehingga perlu segera mendapat transfusi darah. Tanpa berpikir lama Pak Dhe Aris menawarkan diri untuk mendonorkan darahnya, karena beliau memang punya golongan darah yang sama dengan Ibu. Sedangkan aku dan Nisa sama dengan Bapak. Aku dan Nisa kembali menunggu. Tangis Nisa kembali pecah. Aku mendekapnya lebih erat, Tenang, dik. Kita banyak berdoa saja semoga Allah menyelamatkan dan segera menyembuhkan Ibu, kataku berusaha menenangkan. Meski hatiku saat ini tak kalah cemas dengan Nisa. *** Kubuka mataku perlahan. Kulirik jam tangan, pukul 03.00 WIB. Kulihat Nisa telah tertidur di samping kanan Ibu dengan posisi yang mirip denganku, memeluk dan merebahkan kepalanya disamping Ibu. Aku mencium kening Ibu, Ibu cepat sembuh, ya Bu. Sebentar lagi Ahmad mau ikut lomba, doakan Ahmad ya, Bu. Air mata Ibu menetes, lalu tak terasa aku pun ikut menitikkan air mata. Segera kuseka, lalu menggantinya dengan senyum. Semoga Ibu mendengar bisikkanku walaupun mata Ibu terpejam. Aku akan berusaha membahagiakan Ibu. Ibu pernah bilang, kan? Ibu ingin si Nang Ibu ini bisa berguna bagi agama, nusa, dan bangsa. Nggak lama lagi aku akan berusaha mewujudkan keinginan Ibu. Doakan Ahmad, Bu, lirihku. Ibu kembali meneteskan air mata. Aku menyekanya perlahan, kemudian mencium keningnya lagi. Aku beranjak untuk berwudhu dan mendirikan sholat malam. Semoga Allah memudahkan urusan-urusan kami. *** Kini aku telah berdiri di dalam aula sebuah gedung di Kota Semarang. Di bagian depan gedung terpampang MMT besar bertuliskan Selamat Datang para peserta Lomba Tahfidz se-Jawa Tengah. Mobil-mobil berderet rapi di sepanjang area parkir gedung. Banyak peserta dari berbagai ponpes se-provinsi Jawa Tengah di sekitarku. Beberapa diantara mereka datang bersama ustadz dan ustadzah pendamping. Hadir tanpa guru atau keluarga yang mendampingi tak melunturkan semangatku. Panitia lomba telah mengumumkan pada peserta agar segera mempersiapkan diri karena acara akan segera dimulai. Acara pembukaan mengawali perlombaan tahfidz kali ini. Pak Gubernur hadir untuk memberikan sambutan, kemudian perwakilan panitia juga memberikan sambutan sekaligus motivasi bagi para peserta. Pesan yang bisa kutangkap dari beliau adalah sebagai seorang muslim, kita harus senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan. Serangkaian acara pembukaan pun telah usai, kini para peserta diarahkan ke ruang lomba. Para peserta mulai terlihat gelisah, termasuk aku. Tapi aku tetap optimis dan berusaha mengatur nafas setenang mungkin agar tidak gerogi. Tahap demi tahap kami lalaui dalam kompetisi ini. Alhamdulillah aku menjadi salah satu yang terseleksi masuk babak grand final. Kini hanya tersisa 3 peserta dari ratusan peserta. Aku dari Rijalul Quran, Jepara, satu orang dari Kudus bernama Jamil dan satu orang lagi dari Demak bernama Yusuf. Di babak ini jantungku kembali berdetak kencang. Bismillah, mudahkanlah Ya Allah. Dewan juri telah memberi aba-aba pada kami pertanda sebentar lagi babak grand final akan dimulai. Kami bertiga masing-masing mulai fokus pada juri. Yusuf berhasil melanjutkan beberapa ayat yang dibacakan juri dengan lancar. Selanjutya adalah Jamil. Sayang, ia tidak lancar saat melanjutkan ayat yang terakhir. Raut penyesalan tertera di mukanya. Dan yang terakhir adalah aku. Bismillah, lancarkan dan fasihkan Ya Allah, rapalku dalam hati. Alhamdulillah, dua ayat yang dibacakan dewan juri dapat aku lanjutkan dengan lancar. Ini ayat terakhir untuk peserta terakhir. Mohon disimak baik-baik, instruksi salah satu dewan juri kuperhatikan dengan baik. Dewan juri melantunkan Q.S. Luqman:13, aku mulai terngiang suara Ibu seperti dalam mimpiku semalam. Aku harus melanjutkannya persis seperti dalam mimpi. Bibirku agak sulit digerakkan, tiba-tiba mataku panas. Jangan sampai aku kehilangan fokus dalam keadaan seperti ini. Ya Allah, mudahkanlah lidahku dalam melanjutkan ayat ini. Bismillah... Perlahan-lahan aku menggerakkan bibir mencoba mengeluarkan suara, melantunkan Q.S. Luqman: 14. Aku melantunkannya dengan tartil, tidak tergesa-gesa. Kupastikan makhroj dan tajwidnya tidak ada yang keliru. Aku berusaha merenungi ayat itu. Ibu, Ibu yang kini memenuhi pandanganku. Aku hanyut dalam lantunan ayat yang artinya begitu aku suka. Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orangnya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah. Dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu. (Q.S. Luqman: 14). Mataku kembali terasa panas seusai menyelesaikan satu ayat tadi. Tak terasa setitik air telah menetes di pipiku. Aku segera menyekanya, malu dilihat banyak orang. Dewan juri menggerakkan penanya menulis skor untuk ku. Masya Allah, suaramu begitu indah , Nak, kata salah satu juri sembari tersenyum. Aku membalas senyumnya takdzim. Tak berapa lama seusai babak grand final, panitia mengumumkan hasil perlombaan. Jamil menjadi Juara 3. Yusuf menjadi Juara 2, dan alhamdulillah, dengan izinNya aku menjadi Juara 1. Allahu akbar, aku tidak menyangka. Kini piala terbesar dalam lomba ini telah kupegang. Ibu, lihatlah. Dengan doa Ibu, Ahmad bisa membanggakan Ibu dan Nisa, serta bisa mengharumkan nama baik Rijalul Quran.

1 komentar: