Fasih Membaca Al-Qur’an Sebagai Prasyarat Kepemimpinan


Fasih Membaca Al-Qur’an Sebagai Prasyarat KepemimpinanSekolah Penghafal Al Quran - Membaca merupakan proses untuk memahami dan menentukan sebuah eksistensi. Ia menjadi pembuka untuk memahami segala bentuk pengetahuan, baik pengetahuan di langit (tentang Allah) dan di bumi (sunnatullah). Dari membaca pula, eksistensi kepemimpinan ditentukan. Itulah yang tergambar dari pewahyuan pertama Al-Quran kepada Nabi Muhammad melalui perintah membaca (iqra’).

Dengan membaca, Nabi Muhammad eksis sebagai seorang Nabi. Ini membuktikan bahwa eksistensi seorang pemimpin, bahkan seorang Nabi, ditentukan oleh kemampuannya dalam membaca. Itulah sebabnya Malaikat Jibril “memaksa” Nabi Muhammad untuk membaca atas nama Allah, ketika Nabi Muhammad mengaku tidak bisa membaca (ma ana bi qari’). Berangkat dari deskripsi ini, maka kehadiran seorang pemimpin tidak bisa dilepaskan dari kemampuannya membaca ayat-ayat Allah.

Kemampuan membaca dengan baik, akan mengantarkan seseorang untuk memahaminya secara baik pula. Begitu dengan Al-Quran. Untuk memahami Al-Quran secara baik, kita harus bisa membacanya secara baik (fasih) pula. Tanpa pembacaan yang fasih, maka pemahaman kita tidak akan baik pula.


Fasih di sini terkait dengan cara membaca yang sesuai dengan gramatikal Al-Quran (tajwid). Ketika pembacaan terhadap Al-Quran menyalahi gramatikalnya, dengan sendirinya pemaknaan dan pemahaman terhadap ayat akan menyimpang pula.

Membaca dengan Lisan dan Perbuatan

Membaca tidak hanya identik dengan melafalkan secara lisan. Namun juga mencerminkan pemahaman kita pada apa yang kita baca. Orang yang mengerti makna di balik lafal, akan membacanya sesuai gramatikal (tajwid) Al-Quran. Sebaliknya orang yang tidak memahami makna dibalik lafal Al-Quran akan lebih mengedepankan kesyahduan irama pembacaan daripada penyampaian makna di balik yang dibacanya. Itulah sebabnya, perlu diimbangkan antara kefasihan membaca Al-Quran dan memahaminya.

Tradisi membaca Al-Quran merupakan tanggungjawab seluruh umat Islam di semua level kehidupan, termasuk para pemimpin yang tanggungjawabnya tidak hanya pada rakyat (horizontal), tapi juga pada Allah (vertikal). Berangkat dari asumsi ini, maka membaca Al-Quran bagi para pemimpin merupakan keniscayaan di tengah warga masyarakat yang mayoritas muslim. Apalagi secara konstitusi para pemeluk agama dituntut untuk mengamalkan ajaran agamanya secara baik. Dan membaca Al-Quran merupakan salah satu ajaran Islam yang dianjurkan bagi para pemeluknya.

Secara formal upaya ke arah tersebut sudah dilaksanakan di beberapa daerah, di antaranya di Nanggroe Aceh Darussalam, misalnya para calon Gubernur, Bupati, Walikota lebih dulu ditest kefasihan membaca Al-Qur’an sebelum tampil dalam Pilkada. Walaupun hal tersebut merupakan prasyarat formal, namun secara simbolik, pembacaan Al-Quran secara fasih dapat menjadi salah satu cermin dari kemampuan seseorang mengejawantahkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Al-Quran dalam bentuk sikap dan perilaku yang mulia. Paling tidak, kalau seseorang merasa fasih membaca Al-Quran, maka dengan sendirinya ia akan merasa terikat dengan apa yang dibacanya.

Dengan demikian, harus ada pemaknaan ulang bahwa fasih membaca Al-Quran tidak hanya dalam artian simbolik (melafalkan ayat sesuai kaidah tajwid dengan irama yang indah), namun juga tercermin dalam bentuk sikap dan perilaku yang fasih (baik) pula. Tradisi membaca Al-Quran dengan fasih merupakan tahap awal menuju pemahaman terhadap Al-Quran secara baik dan mendalam.

Di samping itu, karena Al-Quran tidak hanya mengandung makna dan pengetahuan yang maha luas, namun juga mengandung amal ibadah dalam membaca dan mendengarnya, maka mentradisikan membaca Al-Quran secara fasih di kalangan pemimpin dapat mempertebal amal ibadah yang dapat menjaga sikap dan perilakunya dari kehendak yang menyimpang.

Membaca Mendatangkan Rahmat

Membaca Al-Quran tidak hanya mengikat pembacanya, namun juga para pendengarnya. Ada manfaat yang diperoleh baik oleh yang membaca maupun yang mendengarnya.

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُواْ لَهُ وَأَنصِتُواْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Dan apabila dibacakan Al- Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.

(QS Al-A’raf: 204)

Secara sosiologis ayat tersebut mengajarkan kita tentang pentingnya membaca dan mendengar. Tradisi membaca dan mendengar sejatinya dapat mendorong para pemimpin untuk arif sekaligus sensitif atas aspirasi rakyatnya. Cara mendengarkan yang baik adalah dengan cara mendekatkan diri pada rakyatnya.

Walaupun negara ini tidak berdasarkan pada agama Islam, namun sebagai negara yang mayoritas muslim, maka seharusnya seluruh komponen umat Islam baik yang ada di jajaran pemerintahan, swasta, maupun lainnya bisa membaca Al-Quran dengan fasih. Hal ini karena kandungan manfaat yang luar biasa dari membaca Al-Quran. Kalaupun pada kenyataannya belum maksimal, maka inilah agenda kita bersama untuk memasyarakatkan tradisi membaca Al-Quran khususnya di lingkungan eksekutif yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat.

Kemampuan para pemimpin dalam membaca Al-Quran secara fasih dapat menjadi nilai tambah bagi dirinya bahkan bagi masyarakat yang dipimpinnya. Pemimpin yang fasih membaca Al-Quran dengan sendirinya akan mendapatkan tempat khusus di mata masyarakatnya karena Al-Quran identik dengan moralitas dan kesucian jiwa.

Memang membiasakan membaca Al-Quran di kalangan pemimpin (pejabat) bukan pekerjaan mudah. Alih-alih membiasakan membaca Al-Quran, tradisi membaca di kalangan masyarakat secara umum di negeri ini tergolong masih rendah. Untuk itu, sedari dini tradisi membaca Al-Quran secara fasih harus dikembangkan secara simultan bersamaan dengan pengembangan membaca yang dikembangkan oleh pemerintah untuk masyarakat secara keseluruhan.

Sejatinya bacaan yang indah dapat mengantarkan seseorang pada pemahaman yang indah pula. Namun sampai saat ini hal tersebut belum berjalan berkelindan. Bacaan yang indah hanya berhenti pada irama, tanpa makna yang tercermin dalam sikap dan karya nyata. Untuk itu, mari kita tingkatkan upaya dan perjuangan kita untuk menghidupkan Al-Quran baik pada lisah maupun perbuatan, apalagi di tengah arus globalisasi dan konsumerisme yang tiada henti menggoda selera kita. Kita harus bisa mengimbanginya dengan menghidupkan Al-Quran baik sebagai bacaan maupun sebagai mukjizat yang di dalamnya terkandung banyak makna. Kemukjizatan dan kemuliaan Al-Quran ditentukan oleh sejauhmana para pemeluknya mengejawantahkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dalam kehidupan sehari-hari. Selama hal tersebut belum tercapai, maka Al-Quran tak lebih seperti bahan bacaan biasa lainnya.

Untuk itu, kita harus mengembalikan Al-Quran sebagai bahan bacaan mulia dan memuliakan para pembaca dan pendengarnya. Bisa dibayangkan seandainya di tengah krisis multidimensi yang mendera negeri ini, para pemimpin kita mau dan mampu membaca Al-Quran dengan fasih tentu Allah akan menurunkan rahmat-Nya seperti yang dijanjikan ayat di atas. Apalagi Al-Quran merupakan petunjuk paripurna bagi beragam problem yang mendera umat manusia.

(Disampaikan pada Rapat Kerja Nasional XIII Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ), Bone, Sulawesi Selatan, 20 Desember 2006)

0 komentar:

Posting Komentar