Agar Bacaan Al-Qur’an Kita Seperti Bacaan Rasulullah saw

Sekolah Penghafal Al Quran - Sebagaimana kita ketahui, ibn Mas’ud adalah salah satu periwayat qira’ah dan satu-satunya sahabat yang Rasulullah ingin mendengar bacaan Al-Qur’an darinya. Beliau juga satu-satunya pemuda yang berani membacakan surat Ar-Rahman di tengah-tengah kaum kafir Quraisy yang sedang berkumpul di sekitar Ka’bah hingga akhirnya babak belur dipukuli tanpa ada yang bisa menolong.

Jika ibn Mas’ud berkomentar demikian, kira-kira kesalahan apakah yang telah dilakukan oleh lelaki tersebut? Kesalahan fatalkah hingga merusak makna dan maksud ayat? Ternyata tidak. Ternyata, kesalahan bacaannya tergolong kesalahan yang ringan dan tidak sampai mengubah makna dan maksud ayat. Saat membaca kata al-fuqara` “الفقراء” di ayat 60 dari surah At-Taubah, lelaki itu kurang dalam memanjangkan bunyi huruf ra`. Sebenarnya ia telah membaca dengan memanjangkan bacaan huruf tersebut. Bukan membaca dengan pendek. Sehingga lelaki yang tidak disebut namanya itu tidak melakukan kesalahan fatal, karena makna yang dihasilkan dari bacaannya tetap sama dengan saat dibaca dengan benar yakni memanjangkan bacaan huruf ra` lebih dari kadar biasanya. Lalu, jika bacaan yang tidak mengubah makna saja dinafikan oleh seorang sahabat Nabi yang nota bene menjadi rujukan dalam membaca Al-Qur`an ini, bagaimana sekiranya bacaan yang dihasilkan seorang pembaca Al-Qur`an ternyata menyimpang dari makna yang diinginkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla? Tentu, kesalahan yang tergolong fatal tidak selaiknya ada pada seorang pembaca Al-Qur`an.

Untuk menjaga keshahihan dan kefasihan membaca Al-Qur`an, Allah ‘Azza wa Jalla memberikan rambu-rambu yang Dia tuangkan dalam firman-Nya, “Dan bacalah Al-Qur`an dengan setartil mungkin.” (QS. Al-Muzzammil: 4). Bacaan dengan tartil itulah yang diajarkan oleh Rasulullah saw. kepada para sahabat beliau Radhiyallahu ‘Anhum sebagaimana beliau belajar langsung kepada Jibril ‘Alaihis Salam. Bacaan itu pula yang secara turun temurun dari seorang guru ke murid-muridnya hingga sampailah kepada kita.

Apa yang dimaksud dengan tartil pada ayat tersebut? Ali ra. mendefinisikan, “Tartil adalah mentajwidi (membaguskan) huruf dan mengetahui seluk beluk waqaf (menghentikan bacaan).” Dalam definisi Ali bin Abi Thalib di atas terdapat dua pokok pikiran yang akan menyelamatkan bacaan Al-Qur`an. Yaitu: mentajwidi huruf dan mengetahui seluk beluk waqaf (menghentikan bacaan). Dengan dua hal ini, insya Allah bacaan seseorang akan seperti bacaan para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum di masa Rasulullah saw.

Ustadz Hartanto Saryono dalam berbagai ceramah dan tulisannya menjabarkan tentang definisi ini;
Pertama, mentajwidi huruf. Mentajwidi huruf berarti membenahi setiap huruf yang diucapkan pembaca Al-Qur`an. Pembenahan bacaan Al-Qur`an ini semestinya dilakukan secara menyeluruh dimulai dari pengucapan masing-masing hurufnya hingga pada ketentuan-ketentuan bacaan yang biasa dibahas dalam ilmu tajwid.Hal ini sangat prinsip dan sangat urgen karena tatkala seorang pembaca mengucapkan suatu huruf namun tertukar huruf lainnya berarti mengubah arti atau bahkan bacaannya tidak memiliki makna. Di kalangan orang yang tidak berbahasa Arab seperti kita, kesalahan-kesalahan yang dikategorikan sebagai kesalahan berat dan fatal ini sering kali terjadi, baik karena disengaja maupun tidak disengaja. Bacaan yang disengaja timbul karena menyepelekan pembenahan bacaan sehingga muncul anggapan bahwa huruf yang mereka ucapkan sama dengan huruf Arab. Padahal pengucapan huruf-huruf latin lebih sering hanya memiliki kemiripan pengucapan tetapi tidak sama.

Misalnya, kita yang berbahasa Indonesia sering menganggap bahwa pengucapan huruf ta’ sama dengan huruf ‘T’ dalam bahasa Indonesia. Padahal jelas berbeda. Huruf ta’ memiliki sifat hams yang pengucapannya harus diiringi dengan sedikit hembusan nafas. Selain itu, posisi lidah ketika mengucapkannya, bukannya di antara dua gigi seperti ketika kita mengucap huruf ‘T’, melainkan ujung lidah bertemu gusi atas. Kesalahan-kesalahan seperti ini sering terjadi karena kurangnya kepekaan kita dalam mengoreksi bacaan kita sendiri, dan sulit sekali diperbaiki. Contoh lain, ketika mengucap huruf dal, kita biasanya menganggapnya sama dengan huruf ‘D’. Padahal jika kita mau jujur dan mengoreksi, posisi lidah ketika mengucap ‘D’ justru ada di posisi huruf nun. Sayangnya, kita terlalu gengsi untuk mengakui kesalahan. Jika dikoreksi, yang terjadi justru -misalnya- balasan komentar, “mbak bisa ngucapin dal dengan benar karena mbak kan orang jawa.” Bikin speechless -_-

Sedangkan bacaan yang tidak disengaja terjadi karena memang murni salah ucap. Seorang pembaca ingin mengucapkan suatu huruf, namun yang terucap ternyata huruf lainnya. Kesalahan semacam ini sebenarnya maklum saja adanya, karena tidak mungkin seseorang selalu benar ketika membaca Al-Qur’an. Namun tetap akan menjadi fatal ketika kita mengabaikannya. Mungkin diawal kita akan berpikir, “ah, hanya satu huruf ini,” dan tetap melanjutkan bacaan karena mengejar target mutaba’ah yang belum terpenuhi. Akhirnya, lama-lama kita mulai hilang kepekaan dan makin tidak sadar ketika melakukan kesalahan serupa.

Maka, mengatasi kesalahan mentajwidi huruf ini memerlukan kejujuran dan kepekaan terhadap bacaan kita sendiri. Saya seringkali mengatakan, ketika membaca Al-Qur’an selalu curigalah pada diri kita. Sudah benarkah pengucapan hurufnya? Sudah tepatkah panjang dan pendeknya? Konsistenkah? Atau justru terbalik antara mad asli dan mad wajib? Dengan begitu sesungguhnya, membaca Al-Qur’an bisa melatih diri kita untuk bersikap jujur. Karena ketika kita tilawah sendiri di rumah, tak ada yang akan mengoreksi.

Kedua, Mengetahui di mana harus menghentikan bacaan Al-Qur`an dan dari mana memulainya kembali. Masalah waqaf (menghentikan bacaan) menjadi penyempurna bacaan Al-Qur`an. Dengan memperhatikan tempat yang tepat untuk menghentikan bacaan dan memulai kembali bacaan tersebut akan menghasilkan bacaan yang bermakna benar. Salah dalam menghentikan atau memulai bacaan berarti berakibat berubahnya makna ayat.

Di sini ada masalah baru. Dari mana kita tahu bahwa waqaf yang diambil sudah benar? Harus dari mana mengulang bacaan agar makna ayat tidak berubah? Menurut saya, tidak ada pilihan lain kecuali kemampuan memahami bahasa Arab.
Saya tidak mengatakan kita harus memahami bahasa Arab berikut nahwu, sharaf, hingga balaghahnya. Kemampuan bahasa Arab dasar menurut saya sudah cukup. Seringkali -misalnya- ketika seseorang menghentikan bacaan di kata  لِنْتَ لَهُمْ (Ali Imran 159) lantas mengulangnya dengan cara seperti. .تَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا… Padahal mestinya bisa saja langsung meneruskan bacaannya tanpa harus mengulang kembali. Atau jika akan mengulang mestinya bukan dari huruf ta’ melainkan dari awal katanya.

Kesalahan-kesalahan seperti ini tidak akan disadari jika sang pembaca tidak memiliki kemampuan bahasa Arab, atau minimal dzauqul lughah (rasa bahasa). Setidaknya, cobalah untuk mempelajari kosakata-kosakata dasar dalam bahasa Arab. Akan lebih baik jika memang diseriusi hingga mahir benar. Sehingga ketika membaca Al-Qur’an tidak akan terjadi lagi salah tempat waqaf.

Guna menjaga kemurnian dan keaslian bacaan Al-Qur`an ini para ulama telah sepakat bahwa membaca Al-Qur`an dengan tajwid adalah wajib . Dalam Manzhumah Al-Muqaddimah, Imam Ibnul Jazari menegaskan,
“Membaca Al-Qur`an dengan tajwid adalah wajib. Berdosalah orang yang tidak membaca Al-Qur`an dengan tajwid karena dengannya Allah menurunkannya, demikianlah dari-Nya hingga sampai ke kita.”

The last but not least, sesekali carilah orang yang mau untuk mengoreksi bacaan kita. Lebih baik jika orang tersebut memang sudah teruji kualitas bacaannya. Dengan demikian, minimal kita akan tahu kesalahan apa yang paling sering kita lakukan sehingga kita tahu bagian mana dari hukum tajwid yang perlu kita benahi.

Sumber : lifestyle.kompasiana.com

0 komentar:

Posting Komentar