Keajaiban Mendengar dan Membaca Al-Quran (dengan pemahaman)

Keajaiban Mendengar dan Membaca Al-Quran (dengan pemahaman)

Sekolah Penghafal Al Qur'an - “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang apabila disebutkan (nama) Allah, bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah keimanan mereka, bertawakkal-lah mereka kepada Allah. Mereka itu mendirikan shalat dan terhadap apa yang Kami rezekikan, sebagiannya mereka infakkan.” Begitulah terjemahan surat Al-Anfal ayat 2 dan 3.

Ayat ini menjelaskan pengaruh Al-Quran kepada jiwa setiap mukmin, laki-laki dan wanita yang beriman kepada 6 (enam) rukun iman. Kepada Allah, kepada malaikat-malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada nabi dan rasul-rasul-Nya, kepada hari akhir, dan kepada takdir yang Allah tentukan. Sebagian ulama mengatakan, orang yang mukmin pasti muslim.

Sebab mukmin itu derajatnya lebih tinggi daripada muslim. Ayat ini juga secara langsung menegaskan, jika seseorang tidak punya iman, maka lantunan ayat-ayat Al-Quran yang didengar dan dibacanya tidak punya pengaruh dahsyat sebagai dijelaskan di dalam surat Al-Anfal ayat 2 dan 3 itu. Pengaruh tetap ada, tetapi sangat kecil, karena hatinya tidak dibuka untuk menerima pancarannya. Sebagaimana Anda menutup mata di siang hari, masih terasa ada kesan terang di kelopak yang tertutup itu, sebab matahari bersinar dengan kuatnya. Matahari itu adalah Al-Quran.

Di sini ada beberapa manfaat dan faedah mendengarkan dan membaca Al-Quran. Penulis sebutkan juga membaca Al-Quran karena orang yang membaca itu memperdengarkan bacaannya sendiri. Maka bisalah ia dimasukkan ke dalam bagian mendengarkan Al-Quran:

Inilah manfaat pertama dari mendengarkan Al-Quran. Sifat takut tidak selamanya negatif. Seorang mahasiswa belajar karena takut tidak lulus, kalau tidak lulus ia takut mendapatkan malu dari teman-temannya, malu kepada orang tuanya, maka bukankah sifat takut di sini membawa segi positif buat dirinya? Dimana ia menjadi belajar dengan sungguh-sungguh? Seorang ayah bekerja keras, berdagang, dan bertakwa kepada Allah, agar mendapatkan uang yang berkah dan banyak, ketika ditilik hatinya, ternyata ia melakukan semua hal itu demi anak-anaknya. Ia takut anak-anaknya tidak mendapatkan gizi yang halal dan baik. Ia takut anak-anaknya tidak bisa sekolah di sekolah Islam yang menjadi cita-citanya, maka bukankah sifat takut di sini sebagai bahan bakarnya untuk bekerja keras?

Orang yang takut kepada Allah adalah orang yang positif. Ia tidak berani mengurangi timbangan di saat menimbang beras untuk pembelinya. Ia tidak berani menipu dan menyembunyikan cacat dalam barangnya kepada pelanggannya. Di dalam lapangan ibadah ritual, ia sangat bersemangat menambah shalat sunnahnya setelah shalat wajib, agar terhindar dari neraka dan layak dimasukkan ke dalam surga. Maka teranglah sudah, betapa bermanfaatnya sifat takut kepada Allah ini, yang didapat dari banyak-banyak mendengar dan membaca Al-Quran.

Syekh Muhammad Al-Ghazali menjelaskan fungsi iman dalam salah satu ceramahnya. Kata beliau, iman itu bahan bakar yang mencetuskan api semangat di dalam hati sehingga mendorong tubuh untuk beribadah kepada Allah. Iman juga sebagai pendingin hati, yang mampu membuat hati menganggap dingin dan kecil setiap musibah yang terjadi menimpa dirinya. Alangkah hebatnya jika seseorang sudah memenuhi syarat keimanan sebagai yang digambarkan Syekh Muhammad Al-Ghazali ini. Tidak ada lagi masalah yang membuatnya bersedih. Semua waktunya disibukkan untuk beramal sholeh dan berjihad di jalan Allah. Dan keimanan model begini bisa didapat dari mendengar dan membaca Al-Quran.

Orang yang mendengar dan membaca Al-Quran tanpa memahami makna-maknanya pun, menurut pengalaman, imannya bisa bertambah. Sebab memang demikianlah gelombang ruh Al-Quran. Ia bahkan mampu mempesonakan orang yang belum beriman kepada Allah (kafir). DR. Sholah ‘Abdul Fattah Al-Khalidi, seorang yang menulis tentang kehidupan Sayyid Quthub, menceritakan, ketika Sayyid Quthub ditugaskan belajar ke Amerika oleh pemerintah Mesir dengan tujuan mencuci otaknya, ia menumpang bahtera (kapal laut) yang pergi berhari-hari menuju Amerika. Datang sholat Jum’at, Sayyid pun mengajak beberapa muslim yang komitmen dengan Islam agar bersama-sama melaksanakan sholat Jum’at di atas kapal. Memang hebat keimanan Sayyid dimana di saat safar diperbolehkan kita mengambil keringanan dengan sholat Zuhur saja. Akan tetapi beliau tetap mengambil ‘azimah (keketatan) di dalam Syariat Islam, hingga Sholat Jum’at-lah beliau bersama beberapa orang.

Sayyid Quthub memulai khutbah Jum’at, di antara lantunan khutbah itu tentu saja diselang-selingi dengan ayat-ayat Al-Quran yang suci. Saat itu, seorang wanita dari Uni Sovyet (sekarang Rusia), mendengarkan baik-baik apa yang dikhutbahkan Sayyid. Wanita tadi terpukau dengan kalimat-kalimat yang dilantunkan Sayyid diselang-selingnya khutbah Jum’atnya. Kalimat-kalimat itu sebenarnya adalah ayat-ayat Al-Quran. Maka sebelum Sayyid memimpin sholat Jum’at setelah khutbah, wanita itu menghampirinya, seraya bertanya: “Tuan, apakah kalimat-kalimat yang tuan baca di selang-seling ceramah tuan tadi itu? Maka Sayyid pun menjawab: “Itu adalah ayat-ayat Al-Quran wahai nyonya, itulah kalam Allah.” Wanita itu pun menimpali: “Sungguh sangat indah terdengarnya kalimat-kalimat itu terdengar di telinga.”

Jika sedemikian rupa pengaruh ayat Al-Quran yang dilantunkan didengar di telinga orang kafir, bagaimana lagi jika ia dilantunkan di hadapan orang-orang yang beriman?

Ketika membaca dan mendengarkan Al-Quran, kisah-kisah para Nabi banyak diulang-ulang. Dan para Nabi adalah orang-orang yang paling kuat tawakkalnya kepada Allah. Ada Nabi Musa yang berjuang sepenuh hati mengajak Fir’aun dan bala tentaranya memeluk Islam, lalu setelah dilihat mereka tidak mau beriman, Musa membawa Bani Israil keluar dari Mesir menuju Palestina. Hingga ketika di pinggir laut merah, bala tentara Fir’aun sudah dilihat dengan mata kepala. Kaum Bani Israil sudah putus harapan. Saat itulah Musa berkata: “Tidak! Sesungguhnya bersamaku Allah, Dia akan memberikanku petunjuk.” Di dalam Al-Quran juga banyak ayat-ayat yang mampu menumbuhkan pohon ‘tawakkal’ sesubur-suburnya. Lihatlah ayat-ayat yang berbunyi, ‘orang-orang beriman dan beramal sholeh tidak ada rasa takut dan tidak ada rasa sedih’, ‘Allah Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman’, ‘Allah memiliki keutamaan untuk orang-orang yang beriman’, semua ayat ini dan yang semisalnya sudah jelas akan memperkokoh pohon tawakkal.

Dan ilustrasi tawakkal yang benar adalah ketika Rasulullah mengumpamakan dengan burung, pagi hari ia berkicau (baca: berdzikir kepada Allah) dengan riangnya, setelah itu ia segera terbang kesana kemari mencari rezeki di bumi Allah yang sangat luas ini (mirip pedagang besar) dengan perut yang kosong, lalu di sore harinya ia pulang ke sangkar yang dibuatnya sendiri (bukan rumah KPR) dengan perut yang kenyang (keuntungannya setiap hari, bukan pegawai yang keuntungan/gajinya setiap akhir bulan).

Orang yang rajin membaca dan mendengarkan Al-Quran memang biasanya rajin pula menjalankan ibadah sholat. Apalagi jika sampai derajatnya kepada menghafal Quran, rutinitas sholat Tahajjud adalah rutinitas yang paling ditunggu-tunggunya. Sebab di sanalah ia bisa merasakan kenikmatan membaca Al-Quran, yakni di waktu sepinya malam dan di saat turunnya Allah ke langit dunia.

Mengapa orang yang banyak membaca dan mendengarkan Al-Quran itu banyak pula sholatnya? Penulis sendiri pernah mengalami saat-saat banyak membaca lewat hafalan dan mendengarkan Al-Quran lewat telepon genggam, bisa sampai 5 juz –alhamdulillah-. Saat itu, memang gampang sekali untuk melaksanakan sholat berjama’ah 5 waktu di masjid dan bangun pukul 3 dini hari untuk mengambil air wudhu kemudian sholat Tahajjud. Akan tetapi di saat kesempatan itu berkurang, misalnya karena kegiatan belajar mengajar yang padat, atau kegiatan menulis dan menterjemahkan yang banyak, sehingga membaca dan mendengarkan Al-Quran tidak bisa banyak, saat itulah rasa malas untuk sholat berjama’ah dan rasa lelah hati untuk bangun sholat malam menyerang dengan ganasnya.

Sudah maklum, orang yang wajib zakat adalah orang yang memiliki harta simpanan minimal 20 dinar, dan tidak terpakai selama 1 tahun. Sekarang (September 2012) 20 dinar senilai 46 juta rupiah, dengan harga 1 dinarnya Rp. 3.300.000. Ini menunjukkan, orang yang bisa berzakat adalah orang yang kaya. Dengan kebiasaannya bekerja keras, rajin ibadah, berakhlak mulia memang layak ia menjadi orang yang kaya.

Seorang mukmin yang rajin mendengar dan membaca Al-Quran selayaknya kaya dan dermawan. Bukankah ia membaca ayat-ayat Al-Quran yang menyuruhnya mengelola hasil bumi, hasil laut dan hasil langit (daging burung misalnya)? Bukankah ia membaca kisah Nabi Sulaiman yang memiliki kerajaan dan kekayaan? Bukankah ia membaca ayat-ayat yang mengatur hukum jual beli? Yang mana ketika Al-Quran mengaturnya terdapat isyarat di sana agar giat dalam berdagang.

Adapun alasan mengapa ia mesti dermawan, karena ia memang banyak membaca ayat-ayat yang menyuruhnya berinfak dan bersedekah. Dan bolehlah mungkin dimasukkan pendapatnya HAMKA di dalam mengupas psikologi kejiwaan manusia. Bahwa biasanya orang yang sering membaca dan mendengarkan Al-Quran kekayaan alam jiwanya meningkat. Dimana dengan meningkatnya kekayaan alam jiwa ini menjadi tidak begitu peduli-lah ia dengan kekayaan harta dunia. Sebab penulis itu akan senang jika ia melihat karangannya dibaca orang, walau pun sang penulis itu tidak memiliki uang. Apalagi seorang pembaca dan pengagum Al-Quran! Sumber

0 komentar:

Posting Komentar